Setelah ngeliat showroom-nya Beryls, aku jadi makin suka sama coklat, terus kepikiran... kenapa industri coklat di Indonesia gak berkembang ya...
Dari SD sampe sekarang, aku adalah penggemar coklat. Baik itu coklat batangan maupun minuman coklat. Berbagai hal aneh yang berhubungan dengan coklat pernah kualami. Dari mulai gigi copot pas makan coklat (jadi coklat with caramel filling dengan bonus gigi asin), sampe kantong celana jeans yang berlumuran coklat leleh...
Selera coklatku mungkin agak aneh untuk kebanyakan orang Indonesia. Makin dark coklatnya, aku makin suka. Aku gak suka White Chocolate kalo gak di-combine dengan dark chocolate. Pernah ada yang ngasih toblerone ukuran besar. Waktu dikasih (toblerone-nya dibungkus kertas) aku cengar-cengir senang, tapi begitu sampe rumah... buka bungkusnya, jreng!! Ternyata Toblerone yang White!! Gak lebar lagi deh nyengirnya...
Sayangnya seleraku itu gak ditunjang oleh pasar coklat di Indonesia. Kebanyakan coklat batangan yang beredar di supermarket-supermarket adalah Milk Chocolate yang banyak campuran susunya. Kalo Milk Choco sih aku suka, tapi masih kalah suka kalo dibandingkan Dark Choco. Mungkin karena orang Indonesia gak terlalu suka Dark Choco, karena rasanya yang pahit, jadi hampir gak ada yang jualan Dark Choco di supermarket biasa (kalo di Ranch Market atau di Food Hall sih ada, tapi impor, dan harganya bok...). Kalo pun ada, cuman Silver Queen dan Toblerone saja. Dan dua-duanya gak memenuhi syarat untuk jadi "coklatku", karena Silver Queen mengandung cashew alias mente sedangkan toblerone kemahalan buat sering-sering dibeli.
Sebenernya kalo dilihat statistiknya di seluruh dunia, seleraku itu termasuk umum. Karena menurut wikipedia (dikutip dari risetnya Nestle), di dunia ini yang suka Dark Choco sekitar 68%, Milk Choco hanya 22%, sedangkan White Choco 10%.
Tapi gak selamanya Dark Choco gak tersedia di sini. Dulu sempet ada Dark Choco produknya Lagie, murah meriah pula harganya: 2500 rupiah (jaman tahun 2002) untuk coklat seukuran 2 kali wafer KitKat. Di Toko Bahagia, pasar Simpang Bandung aja ada. Tapi entah sejak kapan... produk itu menghilang dari pasaran :-(.
Selain batangan, aku juga fans berat minuman coklat. Minuman coklat itu maksudnya Hot/Iced Chocolate beserta turunannya, yang menurutku berbeda dengan Susu Coklat. Kalo Susu Coklat itu yang dominan adalah susunya, sedangkan Minuman Coklat hanya mengandung sedikit susu.
Jaman dulu, aku suka Susu Coklat, gak mau minum susu kalo gak ada coklatnya, tapi sekarang... beda cerita. Kalo minum Susu Coklat, aku pasti menganggap SUSU-nya merusak rasa coklatnya. Jadi lebih baik minum susu vanilla sekalian, kalo mau minum coklat ya sekalian minum Hot/Iced Chocolate aja, yang rasa susunya gak dominan.
Sekarang ini, aku menilai sebuah cafe dari Hot/Iced Chocolate-nya. Pertama kali datang ke suatu cafe, yang kucoba adalah Chocolate-nya dulu. Kapan ya terakhir sampling? Hmm... Cafe Au Lait, pas nonton Nial Djuliarso. Kesimpulannya adalah coklatnya gak enak (tapi kalo makanannya sih enak, saladnya yummy banget). Top of the List buat Hot Choc masih dipegang Oh La La, sedangkan untuk Iced-nya adalah Spinelli.
Selain minum coklat di resto/cafe, aku juga senang beli minuman coklat bubuk di supermarket. Lagi-lagi di Indonesia resource-nya terbatas. Dulu pernah ada keluarannya Delfi, rasanya boljug lah... tapi seperti Dark Choco-nya Lagie, produk Delfi tersebut juga menghilang dari pasar. Milo 3-in-1 rasanya lumayan, tapi sebenernya dia gak terlalu coklat, dia hampir masuk kategori Susu Coklat. Sebenernya bisa juga pakek bubuk coklatnya Van Houten (ini yang paling enak) atau Windmollen (lumayan enak) dan jangan Wijsman (ini gak enak), itu tuh... yang biasa buat masak itu. Tapi agak repot karena gak instan. Harus nakar susu sendiri, nakar gula... jadi rasanya gak standar. Selain Delfi, Carrefour juga punya tuh produk minuman coklat instan, harganya lumayan terjangkau. Tapi cuman ada di Carrefour sajah, itupun gak selalu ada. Ya mungkin karena di Indonesia pasarnya sedikit ya, orang lebih suka minum kopi dibandingkan coklat.
Selain di Supermarket, di Indonesia ini coklat batangan/minuman bisa juga didapat di bakery/cafe/toko khusus produk coklat, misalnya Dapur Cokelat, Death By Chocolate, dan masih banyak lagi. Tapi mereka memproduksi coklat masih sebatas dalam skala home industry dan buat dijual sendiri di toko mereka.
Nah, belakangan ini... aku menemukan produk coklat yang lumayan diproduksi secara masal, sayangnya pabriknya gak di area Jabotabek dan untuk tahap awal sepertinya produk-produknya dipasarkan di lokal saja.
Setahun yang lalu aku menemukan Cokelat Monggo di Circle-K Yogya. Rasanya lumayan miyayeni, berkelas lah. Dia menyediakan Dark Chocolate juga. Sayangnya dia hanya tersedia di Mirota, atau Circle-K sajah. Beberapa bulan lalu aku pernah menemukannya di Circle-K Jakarta. Sayangnya lagi, harganya kalah bersaing dibandingkan licensed product seperti Cadbury, Delfi, Van Houten yang dijual di supermarket.
Terus satu lagi, pas sebelum lebaran, aku nemu coklat minuman merk Schoko di Parijs Van Java, Bandung. Itu produk bikinan Bandung. Rasanya macam-macam, ada yang Caramelo, Original, Irish Cream, lumayan berkelas juga, udah macam produk impor aja. Tapi ya gitu deh... rasanya baru 2 minggu terakhir ini aja aku melihat produk tersebut di Hero Jakarta, sebelumnya juga hanya available di Bandung. Kalopun ada di Jakarta, itu bukan yang produk minumannya, hanya produk coklat bubuk buat masak.
Herannya... dua produk tadi (Monggo dan Schoko) mengusung Belgian Chocolate sebagai bahan bakunya. Lha?? Padahal katanya Indonesia produsen cocoa nomor 3 di dunia... Terus... menurut pengakuan si Eldi... waktu kecil dia suka nyolong buah coklat di Perbaungan sana. Terus aku ngebayangin ada "Coklat Eldi", yang bisa disandingkan dengan "Kopi Luwak". Hihihihi...
Terus tauk gak?? Belgia itu (dan juga Swiss yang terkenal akan produk chocolate-nya) sama sekali gak punya tanaman cocoa. Karena cocoa itu hanya hidup di daerah sekitar khatulistiwa alias tropis. Mereka hanya negara pemroses cocoa. Jadi...?? Mungkin flow-nya seperti ini: Cocoa-nya dari sekitar-sekitar khatulistiwa (bahkan mungkin dari Indonesia sendiri), dibawa ke Belgia untuk diproses jadi bahan setengah jadi. Baru deh dibawa lagi ke Bandung/Yogya untuk diproses lebih lanjut jadi Cokelat Monggo dan minuman Schoko. Terus dikasih label yang bilang bahwa bahannya adalah Belgian Chocolate.
Kadang-kadang aku suka ngidam berat coklat, aku menyebutnya "Sakau Cokelat". Rasanya ada dorongan kuat untuk makan cokelat. Dulu jaman lagi menyelesaikan TA di Bandung, hampir tiap hari tuh aku meluangkan waktu untuk jalan ke pasar Simpang dan beli coklat. Entah itu es krim, Lagie, roti coklat SariRoti, atau Beng-beng. Setelah bekerja juga masih sering Sakau Cokelat, untungnya banyak Alfamart, Indomaret, ataupun Circle-K di setiap sudut Jakarta yang menyediakan coklat, meskipun gak terlalu bervariasi. Lumayan lah... untuk mengobati "Sakau"-nya. begitu makan segigit aja, biasanya langsung sembuh sendiri...hehehe...
Hmmm... andaikan... Indonesia punya yang kayak Beryls gitu... yang produknya didapat dengan mudah di supermarket dengan harga terjangkau... nanti aku mengusulkan produk coklat dengan judul Dark Chocolate with Ikan Wader Filling...hehehe...
4 comments:
Wahh, betul... Beryls itu oke banget. Aku suka coklatnya (baru ngeh sama merk itu pas sekali-kalinya beli pas lg di Malay).. Blom pernah beli lagi abis itu, hahaha :D
Btw, keknya aku pernah mempromosikan Schoko padamu deh dulu :D
Aku suka Schoko itu.. Minuman wajibku di kantor Bandung
ehhhhmm yummy yummy chocolate :)
aku suka tulisannya, ternyata kita sama2 penghobi dark coklat hehe
Post a Comment