Thursday, December 29, 2016

15 Tahun The Fellowship of the Ring

Di forum theonering.net lagi ramai memperingati 15 tahun The Fellowship of The Ring. Jadi 15 tahun yang lalu, film The Lord of The Rings yang pertama mulai tayang di bioskop di seluruh dunia. Di Indonesia, kayaknya baru di awal 2002 filmnya tayang sih.

Aku ingat nonton bareng dengan beberapa orang teman. Kalau gak salah ada Rama, Mamih, mungkin Kiki. Kesimpulannya pada saat itu? Aku gak ngerti jalan ceritanya! Huahahahaha.... Ngapain orang-orang itu pada berlari-larian naik turun gunung-keluar masuk hutan-nyebrang kali demi membuang sebuah cincin?! Makanya terus gak nonton yang The Two Towers sama The Return of The King. 

15 tahun yang lalu gak kepikiran deh, bahwa ternyata film itu hanya menunggu waktunya aja untuk aku pahami. Butuh waktu 12 tahun (kurang dikit sih) untuk akhirnya ngerti jalan cerita Lord of The Rings. Yang novel dan yang film. 

Yang pasti sekarang aku kudu berterima kasih sama Tolkien (dan juga Peter Jackson) untuk menciptakan dunia imajinasi Middle-Earth (dan juga untuk visualisasinya yang membuat novelnya jadi lebih mudah dimengerti). Dunia imajiner itu telah membuat aku dan si Om bisa berbagi imajinasi yang sama dan punya satu hal lagi untuk dinikmati bersama. Hasil karya visualisasinya pun telah memberikan pengalaman dan petualangan yang gak akan kami lupakan. Naik turun gunung-keluar masuk hutan dan nyebrang kali.... serupa deh sama orang-orang yang mau membuang cincin ke Mt.Doom. 

Roads go ever ever on,
Over rock and under tree,
By caves where never sun has shone,
By streams that never find the sea;
Over snow by winter sown,
And through the merry flowers of June,
Over grass and over stone,
And under mountains in the moon.
(The Road Goes Ever On - dari The Hobbit) 

Terima kasih untuk Middle-Earth!

Saturday, June 11, 2016

Hubungan Benci Tapi Rindu Dengan Senen-Lb.Bulus

Tadi pagi, waktu lagi duduk nyaman dan adem di atas bus feeder transjakarta jurusan Lb. Bulus-Senen dalam perjalanan 20 menit dari Kuningan ke Istiqlal, aku jadi feeling nostalgic

Bisa duduk (ataupun berdiri) dengan tenang, nyaman, dan adem di bus itu sebenernya menggambarkan kemajuan ke arah yg lebih baik dalam urusan public transport Indonesia, khususnya Jakarta. Sekarang ini lalu lintas Jakarta makin menjijikkan karena kapasitas jalan gak semakin bertambah, tapi jumlah kendaraannya bertumbuh terus. Mending kalo pengguna jalan mau diatur, nah ini kebanyakan sih gak tau aturan, gak mau tau, atau pura-pura gak tau (bedanya tipis deh), Jadi lah perjalanan naik mobil sekarang umumnya aku pake misuh-misuh. Tapi untunglah, kalo naik public transport jadi sedikit berkurang misuh-misuh-nya. Hubunganku dengan si bus Lb.Bulus-Senen ini cukup menggambarkan hal itu. 

Jadi ceritanya si Lb.Bulus-Senen ini udah beberapa kali beralih rupa. Aku sendiri berkenalan dengan bus itu sejak SMP, bisa dibilang sejak pertama kali bisa naik bus sendiri. Dulu bentuknya bus Kopaja yang warna putih-ijo tanpa AC itu, trayeknya disebut P20. Aku biasa naik bus itu seminggu sekali pp dari rumah ke kolam renang Lebak Bulus. Jaman dulu sih sepenuh-penuhnya bus Kopaja, rasanya masih bearable. Palingan bete kalo mau turun di halte Madrasah aja. Susah menembus kerumunan penumpang yang berdiri. Itu waktu kelas 1 SMP. 

Ketemu lagi dengan bus itu waktu kelas 3 SMP, waktu itu lokasi sekolahnya di pinggir jalan TB Simatupang, beda dengan kelas 1 dan 2 yang di dekat Pondok Pengayom Satwa, jadi dilewati oleh bus itu. Waktu naik kelas 3 sih senang: "Hore! Sekarang bisa langsung naik P20 itu, sekali aja sampe di halte Madrasah. Gak harus tuker bus di pertigaan Mangga Besar." Itulah harapannya. Kenyataannya? Ternyata P20 itu jarang-jarang lewat! Giliran lewat di depan sekolah, biasanya penuh. Ujung-ujungnya naik bus 2 kali juga deh. 

SMU dan Kuliah gak ketemu sama bus itu. Waktu awal-awal kerja cuman sekali-sekali aja naik bus itu, Nah, akhirnya kembali berhubungan erat dengan bus itu waktu aku kembali kerja di Jakarta, setelah pindah dari Sorong. Ini dia nih.... 

Waktu itu ternyata P20 punya versi upgraded, yaitu P20 AC. Bus dengan trayek yang sama, tapi pake AC dan lewat jalur busway. Pas pertama nyoba untuk pulang dari kantor ke Buncit, lumayan juga. Agak-agak pegel karena berdiri dan penuuuhh pisan, tapi 1 jam aja udah sampe.

Nah lama-lama jadi makin nyebelin aja si P20 AC ini, apalagi kalo udah ketemu temannya sesama P20 AC: kebut-kebutan jreng! Kadang-kadang sampe mengorbankan penumpang. Jadi kapan itu si P20 AC mencoba menyusul kawannya dengan cara keluar dari jalur busway di Kuningan. Hasilnya 1 halte busway jadi terlewat. Padahal ada penumpang mau turun di halte itu. Pas penumpangnya protes, malah dimarahin sama kernetnya. Bikin pengen nabok aja kan?

Selain P20 AC, P20 versi original juga masih ada. Aku biasa naik P20 original ini kalo berangkat kantor, setelah pindah rumah ke Ps Minggu. Biasanya aku ikut Omla sampai ke depan Depkes Kuningan, kalau waktunya masih panjang aku akan naik P20 original ini sampai kantor. Lumayan lah. Kalau naik taksi 40rebu, naik P20 cuma abis 4000.

P20 original gak banyak kebut-kebutan (berdasarkan pengalamanku lho ya). Tapi... dia menyebalkan ketika sampai di stasiun Gondangdia. Umumnya mereka akan mengoper penumpang ke bus di depannya karena pengen ngetem untuk menampung penumpang yang turun KRL. Huuuhh.... yang ada lari-lari di gang senggol Gondangdia yang penuh banget itu deh.... Udah gitu bus tujuan pengoperan itu umumnya penuh dengan orang-orang turun KRL, jadi pasti fully loaded (pake banget).

Naik bus Kopaja versi original ataupun yang AC itu banyak pengen ngomel, karena:
1) Sekali-sekali ada tukang ngamen ataupun minta sumbangan, ada yang setengah malak.
2) Suka musuhan sama temannya, jadinya kebut-kebutan deh.
3) Kalo lagi baikan sama temannya, mereka suka saling mengoper penumpang. Kadang-kadang dengan skema yang merugikan penumpang => duit yang dibalikin cuma 1/2 full fare, terus di bus berikutnya ditagihin full fare.
4) Berhenti di sembarang tempat, saking seringnya berhenti akhirnya gak nyampe-nyampe.
5) Selain sembarang titik, berhentinya juga sering di jalur kanan, jadi penumpang yang turun mesti bersaing sama sepeda motor dan mobil yang lewat di sebelah kirinya si bus.
6) pokoknya penumpang itu gak dianggap sebagai konsumen deh! (dimana konsumen adalah raja).

Alkisah di pertengahan bulan Januari 2016, si P20 AC tiba-tiba menghilang selama beberapa minggu. Gak lama kemudian muncul trayek TransJakarta Lb.Bulus-Senen dengan bus-bus mini P20 AC yang sudah dicat ulang dan diatur ulang interiornya. Sistem penggajian krunya tidak menggunakan sistem setoran, melainkan menggunakan sistem yang sama dengan bus-bus TransJakarta lainnya. Supirnya sebagian ada yang eks supir P20 AC yang sudah diseleksi.

Naik bus TransJakarta baru itu ternyata menyenangkan, meskipun dalam keadaan penuh. Karena kernetnya sopan, helpful, dan punya otoritas untuk menegur kalo ada penumpang rese yang meresahkan penumpang lain. Terus supirnya gak ngebut kayak dikejar setan. Plus gak ada pengamen ataupun yang tiba-tiba minta sumbangan. Plus gak berhenti di sembarang tempat pula, jadi relatif lebih cepat sampai ke tujuan.

Saking senengnya naik bus baru itu, sampe-sampe waktu berangkat ke kantor naik taksi, kejadiannya seperti ini: awalnya berencana naik taksi ke kantor Omla, ngedrop Omla, terus lanjut ke kantor pake taksi yang sama. Di tengah jalan ngeliat banyak bus TransJakarta Lb.Bulus-Senen, akhirnya minta diturunin di halte Depkes sama supir taksinya, dan buru-buru lari ke halte biar kebagian bus TransJakarta arah Senen itu.

Yah begitu lah.... rasanya terharu juga, ternyata bisa juga aku seneng naik bus di Jakarta. Semoga perbaikan seperti ini gak hanya terjadi di sarana transportasi umum, tapi juga terjadi di bidang-bidang lainnya dan di seluruh Indonesia juga. Biar makin betah (dan bangga) jadi warga Indonesia!