Selama menghilang dari blog 6 bulan terakhir ini, aku sempat menjalani beberapa terapi yang bertujuan membasmi jerawat-jerawat bandel beserta dengan bekasnya di Erhaclinic. Cukup melelahkan, terutama di bagian ketika harus seminggu sekali ke Erhaclinic Kelapa Gading, tapi ternyata cukup efektif, jadi gak sia-sia usahanya.
Aku mulai jerawatan sejak kelas 4 SD, artinya sekitar 20 tahun yang lalu. Dari mulai jerawat kecil-kecil, sampai jadi besar-besar. Kulit wajah yang sangat berminyak dan tangan yang sedikit jahil berkontribusi terhadap timbulnya jerawat-jerawat besar tersebut yang pada akhirnya menghasilkan bekas-bekas seperti kawah permukaan bulan.
Minder? Tentu saja ada perasaan seperti itu. Terutama ketika terpaksa masuk ke lingkungan yang sangat mementingkan penampilan dan penampakan luar.
Jerawat paling parah mungkin muncul pada saat aku kuliah dan di awal masa kerja. Jaman kuliah sebenarnya dimodali untuk pergi ke dokter kulit di Bandung, tapi aku sendiri kurang telaten jaman itu, untuk membersihkan muka saja susah. Lagipula informasi mengenai teknik apa saja yang tersedia belum begitu mudah ditemukan seperti sekarang ini, ternyata internet cukup membantu untuk mencari info mengenai teknik-teknik pembasmian jerawat.
Setelah pindah ke Jakarta dan mulai bekerja, aku memulai perburuan dokter kulit. Awalnya jadi pasien di cabang klinik yang cukup ternama, kebetulan Ibu cocok dengan perawatan di klinik tersebut. Memang jerawat berkurang, tapi tetap timbul lagi dan lagi, paling tidak sebulan sekali pasti ada 1 jerawat besar. Minyak di wajah juga masih tetap banyak.
Agak lama juga perawatan di klinik tersebut, kemudian atas rekomendasi senior di kantor, pindah ke dokter di rumah sakit di Jakarta Pusat. Menurutku metode dokter itu agak aneh. Jadi supaya tidak jerawatan, pori-pori tidak boleh terhalang, harus dibuka, supaya kotoran mudah dikeluarkan. Tapi kalau kotoran mudah keluar, bukannya jadi mudah masuk juga ya? Pori-poriku jadi semakin besar, tetep jerawatan juga, tetep berminyak banyak, dan jadi mengelupas terus-terusan, mungkin obatnya terlalu keras buat aku.
Akhirnya atas ajakan temanku si Sapi, aku ke Erhaclinic Kelapa Gading. Kata orang Erhaclinic itu identik dengan antrian, terus biasanya jadi ketergantungan. Soal antrian, rasanya sih biasa aja. Memang pakai ngantri, tapi karena diberi nomor, jadi kita gak penasaran kapan kita bakal dipanggil. Untuk kekhawatiran yang kedua, aku minta ditemani Ndulo pada kunjungan pertama. Dikasih obat minum dan krim-krim. Ternyata obat minum yang diberikan itu sesuai dengan yang ada di buku teks-nya Ndulo. Hmm… cukup meyakinkan bukan? Beberapa dokter yang praktek di sana ternyata ada yang dokter UI juga, kata Ndulo.
Memang setelah itu jerawatnya berkurang, kira-kira dalam waktu 2 bulan, kalaupun ada gak terlalu besar dan cukup terkendali. Setelah terapi jerawat dengan krim-kriman selesai, dilanjut dengan chemical peeling 1 seri (4 kali). Tapi ternyata chemical peeling tidak cukup untuk mengurangi kawah-kawah bekas jerawat. Jadi dokternya menyarankan untuk terapi Dermaroller (yang waktu itu masih tergolong baru) untuk menggantikan terapi Fraxel yang harganya 4 kali lipatnya Dermaroller. Tapi karena stok rollernya masih terbatas, akhirnya tidak jadi-jadi, dan aku pun terlibat kesibukan pindahan kantor, dan akhirnya hanya perawatan biasa saja.
Setahun setelah pertama kali ke Erhaclinic, ternyata jerawat besar keluar lagi. Sampai suatu kali, sepulang dari dinas ke Sydney, si jerawat terpaksa dikeluarkan isinya sehingga membuat wajahku terpaksa diperban selama 3 hari. Untungnya waktu itu Erhaclinic baru saja buka cabang di Tebet, jadi gak terlalu jauh dari rumah.
Terapi pembasmian jerawat dimulai dari awal lagi… Tapi Erha Tebet lebih menyenangkan dari Erha Kelapa Gading, mungkin karena dia lebih kecil, sehingga jumlah pasien yang dilayani juga lebih sedikit. Lebih tidak antri, dan kita juga bisa lebih mengenal dan dikenal oleh staf-stafnya. Jadi tipsnya adalah kalau mau lebih nyaman dalam hal antrian, pilih Erha yang kecil saja. Fasilitasnya emang gak selengkap Erha besar, gak ada internet, kamar mandinya bintang 3 saja, gak bintang 5, gak ada cafĂ©, gak ada area bermain anak, parkiran kurang luas, tapi karena pasiennya dikit, jadi pelayanannya lebih "personal".
Nah… Sampai pada suatu titik, si dokter bilang sepertinya perlu tindakan tambahan untuk membasmi jerawat-jerawat biar tidak keluar besar-besar lagi. Karena minyak sudah banyak berkurang, bersihkan wajah juga rajin, tapi kenapa masih keluar jerawat?
Jadikata si dokter faktor pencetus jerawat itu ada 3: 1) minyak 2) kotoran dan 3) bakteri P. acne. Satu dan dua sudah terkendali. Tiga selama ini hanya dikendalikan dengan obat minum (antibiotik). Tapi kalo obat minumnya selesai, ternyata dia muncul lagi. Akhirnya ibu dokter menyarankan untuk melakukan yang namanya Acne Light Therapy. Terapi dengan sinar (yang kayaknya berwarna biru) yang berfungsi untuk mematikan bakteri P.acne tersebut. Sinar itu mengaktifkan suatu zat yang ada di tubuh si bakteri, nah zat itu beracun bagi si bakteri.
Tapi ALT itu hanya bisa dilakukan di Erha Kelapa Gading dan Kemanggisan, karena alatnya hanya ada di 2 klinik itu. Terapinya hanya 15 menit dengan mata ditutup, dilakukan selama 1 bulan dengan selang 1 minggu. Jadi seminggu sekali mesti piknik ke Kelapa Gading.
Ternyata terapi itu lumayan efektif. Setelah 20 tahun jerawatan, rasanya seperti dapat pencerahan. Jerawat masih sekali-sekali keluar, tapi kecil dan cepat sembuh. Dan posisi jerawatnya itu paling di sekitaran dagu dan hidung, akibat sumbatan komedo saja, gak pakai radang.
Selanjutnya, bagaimana menghilangkan kawah-kawah bekas jerawat ini… Tindakan pertama sudah dilakukan: bedah subsisi. Kalau mendengarkan penjelasan dari dokternya, sepertinya mengerikan. Di bawah kawah-kawah yang besar dimasukkan jarum halus, kemudian jarum halus itu digerakkan untuk memutuskan jaringan ikat yang ada di bawah kulit, sehingga jaringan di bawah kulit tersebut bisa tumbuh lagi. Harapannya dengan begitu si kawah akan terangkat, kalopun tidak jadi rata banget, minimal jadi berkurang kedalamannya.
Ternyata setelah dijalani, relatif painless sih. Thanks to suntikan anastesi di lokasi-lokasi pengerjaan. Sakitnya hanya ketika jarum suntik masuk, setelah itu hanya serem denger bunyi-bunyiannya saja, gak terasa sakit. Setelah itu di lokasi pengerjaan akan terjadi lebam-lebam kebiruan seperti orang ditonjok. Lebam tersebut akan hilang dalam waktu 3-5 hari. Haha… tapi uniknya, lebam-lebam itu akhirnya aku bawa pergi ujian thesis… untungnya ketutupan kacamata, jadi si dosen dan si penguji gak bertanya-tanya. Kawah yang terdalam (yang kebetulan juga relatif baru usianya, baru 4 tahunan) memang naik secara signifikan. Kawah yang gak begitu dalam (tapi sudah hampir 10 tahun) gak begitu signifikan naiknya, tapi warnanya yang tadinya hitam jadi lebih samar.
Sekarang giliran kawah-kawah kecil yang tersebar di pipi dan jidat. Kalau ini tugasnya dermaroller. Dermaroller itu sejenis gilingan berbentuk silinder yang di permukaannya ada jarum-jarum kecil. Silinder itu digilingkan ke kulit wajah yang berkawah untuk membentuk luka-luka kecil. Dengan luka kecil itu, diharapkan akan merangsang pembentukan kolagen sekian kali lipat dari normalnya, sehingga kawah-kawah tadi pun terisi lagi. Anastesinya hanya secara topikal, tapi emang asli tebel pisan. Tapi biarpun tebel, setelah sampai ke lapisan kulit ke sekian, tetep aja berasa perih. Setelah selesai digiling di bagian-bagian berkawah, wajah dibersihkan dari sisa-sisa darah (kata dokternya sih berdarah-darah), kemudian diberikan masker Vitamin C… Wuuaaa… kayak kalo lagi luka terus ditetesin air jeruk nipis. Perih bok… Muka juga jadi bengkak-bengkak merah. Tapi dasar wanita… buat cantik rela bersakit-sakit dahulu. Semoga saja terapi ini efektif, hasilnya baru akan kelihatan setelah 5 kali tindakan.
Terapi dermaroller itu lumayan mahal, meskipun 5 kali dermaroller = 1 kali fraxel untuk full face (padahal fraxel butuh minimal 4 kali). Aku memang sengaja menabung dan menganggarkan dana untuk dermaroller ini, karena jerawatan selama 20 tahun itu cukup melelahkan. Perasaan minder atau malu sudah lama hilang, tapi tidak berarti perawatan lantas dihentikan. Banyak yang beranggapan bahwa jerawat itu hanya mengganggu penampilan, padahal jerawat itu sebenarnya penyakit yang perlu diobati.