Saturday, March 31, 2007

Valentine (by JB)

Seperti yang pernah aku bilang, mau ngebahas lagu-lagu nih. Tadi aku nemu video clip Valentine-nya Jim Brickman dan Martina McBride di youtube. Video jadul gitu deh (sekitar 10 tahun yang lalu).

Pertama kali aku “ngeh” bahwa lagu ini ada dan dimainkan oleh siapa, adalah di sebuah café remang-remang (tapi gak cabul), dimainkan secara live, instrumental, dan akustik oleh sekelompok pemusik yang terdiri dari piano, cello, dan violin. Kalo gak salah sih waktu itu adalah Hari Valentine.

Setelah itu lagu ini seperti muncul kemana aku pergi. Hmm… gak se-ekstrim itu sih… tapi beberapa kali kudengarkan secara live waktu pergi ke café atau mall, dalam berbagai versi. Termasuk… akhirnya… versiku sendiri yang ancur-tapi-yang-penting-senang…

Sampe tadi pagi (sebelum menemukan clipnya), aku berasumsi bahwa lagu itu adalah lagu romantis yang berkisah tentang cinta sejati seseorang kepada orang lain. Titik. Gak ada keterangan lain lagi. Ternyata… aku salah... lagu ini gak cuma segitu.

Menurut comment yang ada di youtube, si JB (Jim Brickman) bilang bahwa lagu ini bisa aja untuk mewakili cinta secara umum (seperti yang kukira), tapi dia sendiri membuat lagu ini untuk berkisah tentang cinta sejati yang karena suatu sebab tertentu tidak dapat bersatu. Huhuhu… ternyata sedih…

Video klipnya juga menggambarkan hal itu loh… sepanjang video klip itu, sembari merhatiin tampang imyutnya si JB plus berusaha ngintip merk pianonya, aku melihat ternyata si Martina dan si JB gak pernah ada dalam 1 scene yang sama. Ekstrimnya, bahkan waktu si Martina muncul di sebelah grand piano, tiba-tiba si JB menghilang. Maksudnya scene itu adalah mereka… memang tidak dapat bersatu. Terus terakhirnya itu loh… di tengah gerimis salju, si cewek meletakkan bunga di atas makam kekasihnya yang meninggal pada tanggal 14 Februari. => sesuai judul lagunya sih… tapi scene itu jadi mengkonfirmasi bahwa lagu itu memang aslinya sedih…

Oya, trus ada satu frase lirik di lagu ini yang mengingatkan aku sama salah satu episode (lagi-lagi) Star Trek: The Next Generation… hehehehehe (nyengir kuda…) tapi beneran loh ini mengharukan, episode-nya bukan yang tipe jeder-jeder-boing-boing (penuh tembak2an) atau penuh technobabble, tapi tentang parenting, judulnya The Offspring.

Di episode itu si Data membuat “anak” yaitu seorang android yang memilih jenis kelamin perempuan, namanya Lal. Seperti kita tahu, Data itu kan emotionless, sedangkan si Lal ini bisa mengembangkan kemampuan emosi. Tapi karena dia tidak dirancang untuk memproses emosi, akhirnya dia mengalami cascade failure, singkat kata… dia error dan unrecoverable gitu deh…

Pas udah mau shut down, Lal bilang: “I Love You Father…”, tentunya Data yang emotionless gak bisa bilang hal yang sama, dia kan gak bisa merasakan yang namanya cinta. Terus si Lal nambahin: “I will feel it for both of us.” Hhhhuuuhuhuhuhuhu… Indah ya?

If there were no tears, no way to feel inside.
I’d still feel for you…


Akhirnya… buat JB mungkin ini lagu sedih, tapi kalo buat aku sih enggak, setelah me-review lagu ini, kesimpulannya… lagu ini berkisah tentang cinta yang tanpa pamrih: mencintai hanya untuk mencintai, bukan berharap untuk dicintai kembali…

You’ve opened my eyes and shown me how to love unselfishly…


Ternyata… lagu ini lebih bermakna dari yang kukira sebelumnya…

Wednesday, March 28, 2007

Sikilkuuuu...

Kakikkkuuuu.... perih. Kayaknya enak kalo pedicure, atau pijat refleksi, apalagi kalo yang mijet kayak kokoh Delon. Hehe... Gara-gara jalan-jalan di jam istirahat kantor, untuk mendapatkan gambar ini nih....

Ini di taman-nya Monumen Nasional. Ada juga sih foto yang background-nya monas, tapi aku lebih suka ini, karena ada patung Pangeran Diponegoro dan gedung Kantor Pusat Pertamina-nya.

Udah lama banget gak ke monas. Terakhir kali waktu aku masih SMP. Dari kwarnas tadi jalan kaki dulu lewat stasiun gambir, terus masuk dari pintu yang dekat pintu belakang stasiun gambir. Panas, sumuk, keringetan, apalagi ya...

Foto-foto di deket patung Pangeran Diponegoro, terus naik ke atas monas. Ternyata liftnya kecil banget ya, lebih sempit dari lift kwarnas. Untung saja pas hari kerja, jadi gak perlu ngantre.

Sebelum nemu lift itu, sempet nyasar ke ruangan yang ada proklamasi dan bendera pusaka-nya. Dan... jreng-jreng... langsung berhadapan dengan anak-anak SMP dan guide mereka. Upss... hehehe... salah wajah dan salah kostum nih... terus nanya orang, akhirnya ketemu juga lift-nya.

Di atas... anginnya kenceng banget, rok-ku jadi beterbangan... meskipun sebenernya sama sekali gak tersingkap, tapi tetep aja... dingin bok. Abis sedikit foto-foto, turun lagi, gak mampir ke museumnya, karena nanti kelamaan, keburu jam kantornya mulai lagi. Terus jalan pulang deh... kepanasan lagi... heheheheh

Foto yang ini diambil di atas monas, dengan keadaan rambut dan pakaian acak-acakan tertiup angin, muka merah kena sinar matahari, kaki pegel abis jalan jauh pake sepatu hak. Tapi teteeeeuupppp... kalo mau difoto mesti smmmiiiillleee...

Di belakangku itu ada Kantor Pusat Pertamina, trus agak-agak ke pojok kanan ada gedung Kwarnas, kantorku sekarang.

Tuesday, March 27, 2007

Iced Chocolate Paling Wueennaakkk...

Hari Minggu sore, setelah ngumpulin tugas di UGM, aku dan Ndulo ke Setiabudi One. Setelah muter-muter 3 lantai, akhirnya ketemu juga yang dicari-cari: café Spinelli. Ternyata letaknya menghadap ke jalan Kuningan, selama ini gak pernah kelihatan papan namanya, karena digantung di balik kaca yang agak-agak burem.

Tujuan ke Spinelli adalah mencari Iced Chocolate yang menurut Ndulo, paling wueeennaaakkk dari semua minuman chocolate yang selama ini pernah dicobain. Pertama kali nyobain coklat dingin ini setahun yang lalu, cerita lengkapnya liat di sini.

Diet? Hmm… Gak Juga Sih, Tapi…

Aku lagi mengurangi porsi makan nih…seriously. Gara-gara 2 minggu ini rasanya banyak banget ngemil, terus akibatnya celana-celana panjangku jadi mulai ngepas. Belum sampe “lemper” sih, tapi sudah mulai gak ada spare ruangan.

Trus kayaknya masalahnya bukan hanya kebanyakan ngemil deh… tapi juga ini nih… pernah ada temenku nanya: “Git… kamu makannya banyak, tapi kok bisa kurus terus?”. Karena gak tauk juga alasan sebenarnya, dengan asal aku jawab aja: “Kalo more input, harus more output dunk…”. Nah… jawaban asal tadi sepertinya ada benernya juga… akhir-akhir ini habitku gak seperti motto asal-bunyi barusan, makanya gak tetep kurus lagi.

Jadi ya sudah… sekarang aku memotong porsi nasi, terus gak mau banyak ngemil pas di kantor, kalo ada yang nawarin beli makanan, mending aku beli tapi orang lain aja yang makan, terus mulai besok mau sarapan pisang lagi. Dulu trick pisang itu pernah berhasil menurunkan berat sebanyak 2-3 kilo sampe ke berat ideal (ideal menurut standarku sendiri loh), sebelum akhirnya trick itu disabotase oleh trick sekolah sandi, yang terus semakin mengurangi 3-4 kilo dari “berat ideal” tadi. Abis itu perlu 6 bulan lebih untuk naikin lagi ke “berat ideal”.

Ketika aku sarapan pisang, biasanya jadi lebih sering “kunjungan”, dah gitu bawa pisang ke kantor 2 buah untuk sarapan, yang satu suka diembat pula sama si Bi, jadi semakin cepat sukses deh program pengurangan lingkar pinggulnya (pinggang sih gak terlalu kerasa efeknya, karena yang bikin “lemper” itu kan lingkar pinggul).

Oya jadi inget… pengen nyari sanggar aerobic…

Mending Ngobrolin Lagu-lagu Romantis deh…

Kemaren wiken abis nonton “Tiga Ratus” (begitu aku nyebutnya, bukan “Three Hundred”). Hiiiiyyyy... seharusnya aku mengikuti kata hati saja… minggu lalu waktu di Blitz Bandung sama Marina, dah sempet mempertimbangkan mau nonton Tiga Ratus itu, tapi keliatannya filmnya “menyiksa”, padahal waktu itu lagi pengen yang ringan-ringan, gak mau yang penuh ketegangan.

Nah.. tapi akhirnya Sabtu kemaren jadi juga nonton Tiga Ratus tadi. HUUUWWAAAA…. Saaaddddiiiisssss…. Stress nontonnya. Kalo seperti Gladiator itu sadis juga, tapi gak sadis terus-terusan… banyak juga scene yang gak sadis, sedangkan Tiga Ratus ini mah mayoritas sadis.

Sebenarnya, sebagai suatu karya seni, film ini bisa dibilang keren, usahanya untuk mengadaptasi komiknya Frank Miller boleh dibilang berhasil. Aku menontonnya tanpa peduli bahwa film ini merupakan adaptasi dari komik dengan judul yang sama. Ketika selesai nonton, komentarku: “Komikal banget filmnya… ya ceritanya, ya tampilannya” (dan juga penuh dengan pria L-Men). Besoknya pas browsing, baru tauk kalo ternyata emang adaptasi komik. Ternyata mereka berhasil kan?

Tapi untuk berkarya seni, gak perlu sampe jadi stress sendiri pas nonton (untungnya aku orang yang cepet lupa, jadi selesai nonton gak sampe kehilangan selera makan). Kalo masih bisa milih karya seni lainnya… yang bisa dinikmati sambil santai-santai, cengar-cengir, seperti lagu-lagu romantis yang akhir-akhir ini lagi sering kunikmati. Kehidupan sehari-hari di Jakarta udah cukup melelahkan, cukup bikin stress, kalo aku sih gak pengen nambah-nambahin stress lagi dengan hal-hal sadis. Masih banyak CD yang berisi lagu-lagu menyenangkan, atau acara TV yang gak pake marah-marah (Empat Mata gitu…), atau buku musik yang isinya puluhan (bahkan ada yang ratusan) lagu romantis, atau kegiatan sederhana lainnya yang gak melibatkan kesadisan.

Mungkin… kalo lagi mood dan punya waktu nanti aku pengen ngobrol tentang beberapa lagu yang akhir-akhir ini lagi sering didengerin dan/atau dimainkan, anggap aja sebagai suatu tribute buat lagu-lagu itu yang telah mewarnai hari-hariku.

Monday, March 26, 2007

II-V-I

Lemot banget deh aku…

Dah bertahun-tahun aku membaca tentang II-V-I (katanya sih progresi kord paling dasar di jazz), tapi baru kemaren berhasil memainkannya dengan “enak”. Maksudnya “enak”: benar-benar kedengaran jazzy, not-notnya yang ada di dalam chord itu tadinya gak tabrakan jadi terdengar tabrakan namun pas. Thanks to situs ini.

Hehe… tapi kelemotan masih berlanjut bok. Giliran mengimplementasikannya ke dalam lagu, hihihi… gak bunyi. Yahh… sabar lah… one step at a time… Belajar jazz itu perlu kesabaran, ketekunan, tapi katanya sih gak ada kata terlambat (mudah-mudahan bener)… hehehehehe…

Tuesday, March 20, 2007

Bandung: Dinas, Jalan-jalan, dan... Reuni

Part 1: Dinas
Aku berangkat ke Bandung hari Rabu subuh, numpang mobilnya pak bos. Gile juga... pak bos mungkin pernah bercita-cita jadi pilot, mobilnya kayak terbang aja soale, nyampe pintu tol padalarang hanya butuh 1 1/2 jam, padahal udah pakek kena macet menjelang km 65.

Kita menginap di hotel Holiday Inn. Sebuah hotel yang sangat birokratis, tapi sesungguhnya hotel itu bagus dan yang patut digarisbawahi, highlight, dan diingat: makanan-nya wuenak tenan... terutama plain croissant yang buat sarapan. Yummyy...

Hari pertama, kita rapat sampai jam 7 malam, setelah itu aku ngajak mbak Ray untuk ke rumah Cisitu. Berhubung hari itu mbok Ti lagi flu, jadi gak masak, so... aku nitip dibelikan Tongseng Ayam Banyumas. Hmm... yummy... aku suka tongseng, tapi aku gak begitu suka kambing. Jadi... tongsengnya resto Banyumas yang terletak di pojokan pasar Simpang Dago itu adalah suatu kenikmatan: tongseng, tapi bisa milih jenis dagingnya. Dah gitu, bumbunya sangat Njawani juga... manis, gak terlalu spicy seperti tongseng di resto padang Sago langganannya aku dan Bi. Soal harga, memang sih 2 kali lipatnya tongseng Sago, tapi porsinya juga segambreng. Buat 2 orang aja masih kebanyakan.

Hari kedua, rapat sampai siang, terus lunch. Selesai lunch, aku dan mbak Ray balik ke ruangan, tapi sebelum sempet masuk ruangan, kita dicegat sama si Badagok, katanya gak boleh masuk dulu, "The Asmens" lagi pada rapat tertutup. Terus kita ngobrol aja di mezanine itu, SMS si Dudut, ternyata Dudut juga lagi di kamar, diusir juga. Karena gak jelas bos-bos itu selesainya kapan, akhirnya aku ngajak mbak Ray ke Lavie, toko barang-barang baby yang terletak di Jl.Imam Bonjol. Kapan lagi dinas terus bisa jalan-jalan pas jam kerja...?? Hahaha...

Dari Lavie sempet mampir ke Rich & Famous segala, nyari jaket tapi ga dapet. Baru jam 1/2 4 di-contact ama Badagok, katanya sudah bisa masuk ke ruangan. Terus kita meneruskan rapat sampe jam 6.

Jam 1/2 8 dah pada ngumpul di lobi. Malam ini rencananya ke The Valley, resto yang di Dago Atas. Tapi sebelumnya, aku dan Badagok bertugas jemput rombongan 2 yang baru dateng dari Jakarta naik KA. Oya, rombongan 2 ini bisa dibilang rombongan "Men In Black". Aku gak tauk mereka emang menetapkan dress-code atau gak sengaja, mereka berlima kompakan pake jaket eksmud warna hitam.

Duh, mereka itu yaa... membuat orang sedikit khawatir sajah... sejak jam 6 tadi si Bi ditelponin non-aktif terus, terus pak Ung juga non-aktif, mas Wawan juga non-aktif. Uh-oh? Mereka kan naik KA Jkt-Bdg ya? Bukan naik pesawat yang begitu boarding HP harus dinonaktifkan... Ternyata... usut-punya usut... yang satu batrenya mati, yang lainnya ganti nomor telepon.

Nah dari stasiun KA, kita langsung menuju the Valley, sepanjang perjalanan sambil ngemil mini pizza sisa snack sore yang gak abis.

Sekarang ttg The Valley yah... kesimpulannya sih... aku gak akan ngajak orang lain untuk ke situ lagi deh... makanannya gak enak, tempatnya susah banget, harganya gak sebanding dengan manfaat yang kita dapatkan.

Aku sendiri mesen Singaporean Claypot Rice... cantik sih makanannya... ada jungle-nya (yang terbuat dari potongan brokoli), tapi boookk... rasanya gak jelas juntrungannya... Yang namanya nasi claypot itu biasanya kan ada lapisan kerak nasinya (intip) sedikit... ini mah nasinya biasa wae... terus lauknya juga biasa banget, dagingnya sedikit susah dipotong pula.

Terus minumnya mesen Rainbow Juice, lucu juga... jus melon, stroberi, dan sirsak disusun dari atas ke bawah... jadi tergantung ketinggian kita menyedotnya... kalo agak di permukaan, kita bisa dapet melonnya, sedangkan ketika kita nyedotnya dalem, bisa dapet sirsaknya.

Selain makanan, bandnya juga brisik... itu kan tempat yang supposed to be very romantic gitu loh... namun band-nya tuh gegonjrengan banget, kita gak bisa sambil ngobrol...

Kembali ke rapat... Hari Ketiga (Jumat), aku tadinya pengen kabur siang-siang kalo bisa, pengen nonton Dave Koz di Jakarta. Tappiii... kok sedikit bimbang dan ragu, dan rasanya kok kalo aku nekat nonton sore itu, aku berbuat unfair terhadap beberapa orang, termasuk temen-temen seangkatanku yang ikutan ke Bandung. Harusnya bisa jalan-jalan sama mereka kan? Ya sudah... akhirnya pagi itu aku putuskan bahwa aku mau perpanjang tinggal di Bandung.

Part 2: Jalan-Jalan
Jam 5 sore... setelah selesai rapat... regu Pramuka pun berangkat dari Holiday Inn. Ketuanya Badagok (gak lupa bawa tongkat regu yang ada benderanya). Pos pertama adalah FO Episode di jalan Dago. Di FO ini aku pernah menemukan pakaian-pakaian pria yang cukup murah dan bergaya, makanya aku merekomendasikan FO itu. Alih-alih mau jalan kaki dari Holiday Inn untuk membakar lemak-lemak yang menumpuk setelah beberapa hari makan makanan hotel, ternyata hujan turun rintik-rintik, ya sudah lah... kembali ke Kelapa-Dago sajah...

Dari FO Episode, pos kedua adalah Grande. Di Episode aku gak begitu berselera ngeliat barang2nya, di Grande juga gak selera sih... tapi dapet daster kaos gambar Eeyore (standar banget, tiap ke outlet di Bandung, pasti dapetnya daster kaos).

Setelah dari Grande, aku nawarin untuk makan batagor di Jl.Imam Bonjol. Ujan-ujan gitu kayaknya enak makan batagor anget... Di tengah kegelapan malam, ujan, dan sedikit becek itu, regu pramuka pun menuju Food Court Imam Bonjol (si NDC menyebut tempat itu apa yah?) dengan bertudung 2 buah payung dan plastik2 belanjaan.

Sampe di tempat batagor... eng...ing...eng... yang jualan lagi pada kukutan... ngelap-ngelap meja, ngerapiin alat-alat masak, wuuaaa... baru aja tutup bok!! Duile, kesian deh kittee... Dengan penuh kekecewaan, kita pun meneruskan perjalanan kaki ke Kartika Sari Dago, sekalian cari Brownies Kukus di mobil oleh-oleh yang di depannya FO Solution.

Setelah itu, kita akhirnya memutuskan untuk makan di BMK (Bakso Malang Karapitan) yang di depan BIP. Kali ini naik Kelapa-Dago lagi. Di sana... selain makan mie, kita beliin makanan buat si Pincey juga, soale dia hari ini gak bisa ikutan jalan-jalan, malahan lagi sakit di Hotel Santika. Si Dudut mesen minuman yang namanya agak aneh: Bubble Tea Blue Coral... Bubble tea tapi cairannya warna biru, hmm... kalo dari namanya mungkin mengandung air laut kali yaa... hehehe...

Dari BMK, kita mampir ke BIP buat belanja minuman buat Pincey, plus belanja peralatan buat mbungkus printer HP2420 yang segede gaban itu (well, not that big sih.. Gaban is much bigger..hehehe...). Dari BIP, ke Santika buat nengokin si Pincey. Duh... ternyata hotelnya agak-agak berlorong-lorong dan gelap gitu... males juga kalo mesti nginep sendirian di situ... Dari Santika, kita pun kembali ke Holiday Inn, jalan kaki lagi layaknya regu pramuka.

Part 3: Reuni
Ini dia bonusnya dari trip ke Bandung. Pagi-pagi, orang-orang dah pada checkout dari Holiday Inn, aku juga jam 9 sudah cabski ke rumah. Abis itu telpon si Marina, minta ditemenin nonton di Blitz Megaplex, bioskop digital pertama di Indo (masa' sih?). Katanya speakernya tuh menempel di langit-langit studio, tapi karena aku gak menonton film action, jadi gak terlalu kerasa bedanya... Studio-nya sendiri gak terlalu besar, kursinya lebih sempit dari kursi 21, tapi lebih lentur.

Dari Parijs Van Java (tempatnya si Blitz itu), kita ke FO Cascade di Jl.Riau. Ternyata... lumayan asik sih, barangnya banyak yang menarik, tapi emang gak murah-murah banget sih... ya itung-itung alternatif-nya Matahari Dept.Store kali ya. Dari Cascade terus ke kampus, aku nunggu di sekre bareng Fufu, maksudnya nunggu Genus, tapi berhubung si Genus masih lama banget, ya suds... aku pulang dulu, biar bisa ganti pakaian.

Nah, aku janjian sama Genus buat nongkrong somewhere, bareng Wenk, Ntine, dan juga Fufu. Kirain bakalan hanya berlima. Kita janjian di Tizi, cafe yang jaraknya deket banget dari rumah, jadi aku bisa jalan kaki saja. Tapi ternyata parkirannya penuh banget, jadi kita cari alternatif lain. Akhirnya mendaratlah kami semua di Prefere 72, cafe baru yang di depannya Kartika Sari Dago.

Di sana sudah ada Kia dan Benar. Si Benar dah sempet nyasar dulu ke Tizi tadi. Gak lama datanglah Tina dan Jodi. Begitu ketemu Tina, yang dibicarakan langsung: piano Steinway... hehehe... Abis itu datang Rino dan Melly. Jadi berapa orang ya? 11 orang...

Cafe-nya sendiri... tempatnya gak jelas konsepnya. Rumahnya tuh rumah lama, tetap dia pertahankan seperti itu, tanpa ada tambahan dekorasi sebagai penyegar, tapi diperuntukkan buat anak muda, terutama yang bagian belakangnya. Hmm... agak gak nyambung gitu deh... Musiknya juga ga jelas, kalo kata Tina: gak bagus buat baby...

Aku nyoba minuman Hazelnut Hot Choc, rasanya kayak minum pindakas cair. Sedangkan si Tina mesen Mint Hot Choc, rasanya kayak minum coklat sambil gosok gigi. Terus aku mesen nasi sapi lada hitam. Nah yang ini sih... rasanya standar... kecuali..hehe... sepertinya kokinya kebanyakan ngasih lada deh. Mungkin pas dia menaburkan bubuk lada, dia diajakin gosip sama temennya, pas lagi nggosip gitu ladanya masih terus aja tertabur ke dalam wajan, jadilah pedes banget kayak gitu...

Gitu deh ceritanya trip ke Bandung kali ini. Untung saja tasku gak sampe "berkembang biak". Tadinya sudah dikhawatirkan bakal "berkembang biak", ternyata setelah ditata ulang, semua barang bisa masuk dalam 2 tas yang kubawa dari Jakarta.

Monday, March 12, 2007

Shopaholic Antidote

Apakah kalian para single guys/girls suka banget shopping? Kalo dah ke mall atau bahkan pasar, gak bisa menahan keinginan untuk beli barang? Apalagi kalo ada excuse-excuse seperti: "Hmm... aku kan abis dapat bonus" atau "Aku belum punya sepatu yang model ini kok". Tanpa kita sadari, SREKKK... dah kegesek aja credit card kita.

Di saat mengalami situasi seperti itu, aku biasanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu pada diriku untuk mengalahkan keinginan berbelanja tersebut. Seringkali berhasil, tapi ada gagalnya juga sih... ah tapi lumayan kan, banyakan berhasilnya...

1) Pertanyaan yang berhubungan dengan finansial
Yang ini sih cukup standar, dimana-mana orang kalo mau beli barang pasti bertanya seperti ini: Mampu gak sih aku membeli barang itu? Kemahalan gak sih? Kalo posisinya kita lagi ada di tengah-tengah diskonan Matahari, biasanya pertanyaan semacam ini gak berhasil mengalahkan keinginan berbelanja.

2) Pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan akan barang itu sendiri
Ini juga standar: Sebenernya aku bener-bener membutuhkan barang itu gak sih? Kalo obyeknya barang elektronik, masih bisa berhasil, tapi kalo baju dan sepatu, biasanya juga gak berhasil.

3) Pertanyaan yang berhubungan dengan tempat
Ini yang gak standar: Kalo misalkan aku beli sepatu lagi, rak sepatuku penuh gak ya? Beli baju lagi, lemarinya cukup gak ya? Nah... ini dia yang biasanya berhasil menggagalkan aku untuk berbelanja!! Baik itu sepatu, baju, bahkan buku (gile yaa... padahal buku gak boleh diperlakukan seperti itu...). Sepertinya cara ini gak bakalan berhasil untuk orang-orang yang gak punya masalah dengan tempat penyimpanan.

4) Pertanyaan yang berhubungan dengan barang lainnya yang sejenis
Terakhir kali aku beli barang seperti ini, rasanya belum sempat dipakai deh? Barang ini ada substitusinya yang lebih ekonomis gak ya? Kalo beli baju ini, aku punya matching-annya gak ya? Misalnya mau beli piano Steinway (gak mungkin banget ya? jalan-jalan ke mall kok tiba-tiba pengen piano Steinway), yah... ngapain beli Steinway kalo Sammick aja misalnya sudah mencukupi. Beli 1 Steinway udah dapet 15 Sammick, dah bisa bikin sekolah musik ukuran gede tuh.

5) Pertanyaan yang berhubungan dengan "alternatif lain selain berbelanja"
Nah, kalo ini sih, sering berhasil buat pencegahan belanja CD dan buku. Hmm... CD Tompi yang baru yaa... keliatannya bagus, tapi... si XX kan pasti beli, minjem aja aaahh...

6) Pertanyaan yang berhubungan dengan efek samping (terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain)
Kalo aku beli barang ini, akibatnya apa ya? Misalnya beli CD yang brisik dan heboh banget lagunya, ntar berakibat diprotes tetangga. Atau beli Saxophone tanpa punya ruang kedap suara, itu juga bisa diprotes tetangga.

7) Pertanyaan yang berhubungan dengan portability dari barang tersebut
Aku bakal kerepotan gak ya kalo bawa barang ini? Tasku masih cukup gak untuk menampung barang ini? Yang ini sih pertanyaan yang membuatku gak pernah beli oleh-oleh berupa kerupuk mateng. Menurut aku, kerupuk itu meskipun ringan tapi portability-nya rendah, menuh-menuhin ruang, ngerepotin deh bawanya. Aku pernah dinas ke Balikpapan. Mendengar cerita tentang pasar Kebun Sayur, aku memang sudah berniat beli barang-barang tertentu, termasuk lampito yang tentunya dikirim lewat ekspedisi saja. Sengaja bawa koper 1/2 kosong. Sampai di sana... ternyata ada titipan dari orang sana, terus ada titipan dari pak bos. Wuah... akhirnya aku terpaksa menenteng-nenteng sebagian ol-ol masuk ke cabin pesawat, karena koperku gak cukup lagi. Repot...

8) Pertanyaan yang berhubungan dengan kecepatan konsumsi barang itu
Ini sangat berguna untuk mencegah pembelian makanan/minuman. Kalo aku beli makanan itu, aku mampu menghabiskannya gak ya?

9) Satu lagi, ini bukan pertanyaan, tapi tips: jangan pernah masuk supermarket atau department store dalam keadaan lapar. Ketika lapar, kita cenderung bat-bet-bat-bet ingin membeli ini-itu tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.

Robot dan Musik

Ini sequel-nya tulisan Robot dan Kehidupan Sehari-hari. Kali ini aku mau cerita tentang pengalamanku dengan musik dikaitkan dengan robot sebagai suatu entity yang tanpa emosi.

Tau gak... ini tak kasih tauk rahasia kecilku... dulu itu aku bisa dibilang hampir emotionless kalo nyanyi, main atau dengerin musik. Buat aku (dulu) musik itu yaa urutan nada-nada saja. Kalo ada liriknya ya dinyanyiin, ada dinamika ya dimainkan sesuai dinamika keras lembutnya. Mirip robot? Atau mirip kayak MIDI ya?

Dulu itu... aku menyukai suatu lagu, karena melodinya enak didenger (ini sih pakek emosi... sedikit), karena aransemennya keren, tapi jarang bener-bener terbawa emosi dari suatu lagu. Seringkali cuek bebek sama lirik lagunya. Kalo pun terbawa emosi, biasanya karena memori yang menyertai lagu itu. Misalnya lagu "Inikah Cinta"-nya ME, aku gak begitu peduli sama liriknya, tapi terkenang terus lagu itu hanya karena lagu itu adalah lagu kebangsaan waktu prom night.

Thanks to temen-temen di PSM-ITB, yang sudah ngajarin untuk "nyanyi dari hati". Apapun lirik yang dinyanyikan, aku harus mengerti, dan dari lubuk hati yang paling dalam berniat untuk menyampaikan hal itu (Kira-kira sih: "Everything I sing or say, I really mean them...").

Sedikit demi sedikit... aku mulai memperhatikan lirik lagu yang aku denger dan nyanyikan. Akhirnya... sekarang ini aku suka ter-"glodak!!" sendiri ketika dengerin lagu yang "dalem" alias bercerita tentang kehidupan aku dan orang-orang sekitarku. Ternyata musik jauh lebih indah ketika dinikmati secara menyeluruh...

Nah... aku jadi mikir tentang Mr.Data, dia kan emotionless (waktu di TV Series), padahal dia main musik, melukis, dan bikin puisi. Dia mungkin bisa menciptakan musik, karena musik itu kan sebenernya urutan nada-nada yang punya pola matematisnya sendiri, tapi apakah orang yang mendengarkan musik tersebut emosinya bisa tergugah ya? Misalkan dibuat robot penyanyi dengan suara seperti Ella Fitzgerald, apakah akan menimbulkan suasana hangat yang sama dengan Ella Fitzgerald yang asli? Haha... itu bisa jadi topik tugas akhir yang menarik untuk para mahasiswa cybernetic di Daystrom Institute...

Robot dan Kehidupan Sehari-hari

Waktu aku masih kecil dan ABG, aku selalu terkagum-kagum dengan karakter cerita di TV yang berupa robot, manusia mekanik, android, yang sejenis gitu deh. Di film seri Buck Rogers (kalo gak salah) ada tokoh Twiki (gak tauk gimana spelling-nya), I loved that little guy. Terus pernah lagi ngeliat film lepas, drama, lupa apa judulnya, tokohnya adalah android yang berbentuk manusia. Aku juga menontonnya dengan senang hati. Dan akhirnya aku mengenal the lovable Mr.Data yang sedikit banyak meng-inspirasi aku untuk masuk IF ITB.

Seringkali aku bertanya-tanya: gimana rasanya ya jadi android? Dulu sih, aku hanya melihat dari satu sisi: mereka lebih kuat, durable, bisa dibilang immortal, multitasking, bisa lebih cepat (dalam berpikir, maupun dalam bergerak), and handsome... (huahahaha...yang satu ini gak ketinggalan).

Seiring dengan berjalannya waktu (I love this phrase..), setelah belajar di IF, lama-lama sadar juga bahwa robot-robot itu hanya melakukan what they are programmed to do. Mereka gak bisa memilih dengan kemauan mereka sendiri. Hmm, not all of them sih... silakan nonton episode Measure of a Man-nya Star Trek: The Next Generation. Tapi intinya sih... apa yang BISA mereka lakukan, tergantung pada seberapa sophisticated program mereka.

Oya... robot kan gak punya emosi ya? Jadi robot itu seharusnya memang GAK PUNYA keinginan, makanya mereka gak pernah mengeluh ketika mereka hanya mengerjakan apa yang diprogramkan.

Nah... kalo dipikir-pikir, kehidupan sehari-hari kita itu mirip robot saja loh. Dalam suatu ordinary day, kita gak memikirkan lagi apa yang INGIN dikerjakan, kita hanya mengerjakan apa yang HARUS dikerjakan. Apa yang HARUS dikerjakan itu sebenernya gak jauh beda dengan kode-kode programming dari seorang robot kan?

Aktivitasku akhir-akhir ini ya seperti robot itu: Bangun pagi, berangkat ke kantor, pulang kantor, tau-tau sudah menghabiskan waktu 1-2 jam di perjalanan pulang, sampe rumah sudah 5 watt, palingan hanya sempat nulis blog, main-main musik dikit, atau ngerjain PR Kuliah. Terus... setiap kali memasukkan jadwal rapat atau jadwal lainnya ke agenda, atau ketika menerima jadwal kuliah, jadi berasa kayak mengentri beberapa line kode program untuk di-execute ketika waktunya tiba. Atau.. seperti meng-entri task ke fungsi Scheduled Task di OS Windows. Hmm, sampe lupa untuk memikirkan apa yang sebenernya ku-INGIN-kan.

Cerita dikit nih... sebenernya aku menginginkan beberapa hal. Misalnya... aku sebenernya PENGEN (dan sepertinya juga BUTUH) menambahkan olahraga di jadwal sehari-hariku. Sebenernya berenang sudah sempet masuk agenda, tapi waktunya mepet, sampe daerah buncit kadang sudah gelap. Sekarang lagi pengen jazz balet lagi, aerobik, atau kursus dansa, supaya bisa olahraga sambil having fun. Tapi jadwalnya bisa masuk gak ya?

Jadi, kembali ke pertanyaan masa kecilku tentang robot, kesimpulannya ternyata lebih menyenangkan jadi manusia yang bisa memilih apa yang INGIN kita lakukan. Sebagai manusia, sekali-sekali kita harus mengeksplore apa yang kita INGIN-kan, dan juga kita perlu mengerti apa yang orang lain INGIN-kan. Jangan hanya mengerjakan apa yang HARUS dikerjakan, meskipun yang satu ini penting.

Dan sekali lagi... berbahagialah bahwa kita lebih mirip Captain Picard ketimbang Mr.Data...

Ngebahas Balonku

Gara-gara album terbarunya Tompi, jadi pada ngebahas lagu Balonku. Liriknya yang selama ini AKU YAKINI BENAR adalah seperti ini:

BALONKU ADA LIMA
RUPA-RUPA WARNANYA
HIJAU KUNING KELABU
MERAH MUDA DAN BIRU

MELETUS BALON HIJAU
HATIKU SANGAT KACAU
BALONKU TINGGAL EMPAT
KUPEGANG ERAT-ERAT

Menurut si Tompi, lirik lagu Balonku agak aneh... mananya yang aneh ya? Ternyata... versi yang benar menurut si Tompi adalah:

MERAH KUNING KELABU
MERAH MUDA DAN BIRU

Pastinya Tompi men-claim bahwa versi dia adalah versi yang asli berdasarkan bukti-bukti konkrit ya, bukan berdasarkan ingatan belaka.

Jadi mari kita asumsikan bahwa versi Tompi adalah versi yang asli. Rima-nya memang lebih enak untuk dilafalkan atau dinyanyikan. Tapi... tentunya isi lagunya jadi gak logis: Balon HIJAU yang meletus itu balonnya siapa dunk?

Hmm... let's assume lagi bahwa balon hijau yang meletus itu adalah ngembat balon milik teman, bukan milik sendiri: Tetep aja jadi gak logis, kalo yang meletus balon teman, artinya balonku masih ada LIMA, bukan tinggal EMPAT. Kemana larinya balon yang 1 lagi?? Mencurigakan...

Kalopun versi itu adalah versi yang asli, artinya lagu itu aslinya memang gak logis dan mencurigakan, kemungkinan sengaja dibuat demikian untuk mempertahankan rima yang enak, sehingga lagunya jadi lebih indah. Modifikasi dilakukan oleh guru-guru TK dan orang tua kita-kita dengan mengganti MERAH dengan HIJAU, supaya lagunya jadi lebih benar secara matematis.

Mungkin memang versi yang paling asli adalah versi Tompi, sekarang para orang tua dan guru tinggal milih mau pakai yang mana: yang rimanya indah atau yang mathematically correct. Yang perlu diingat adalah ini lagu anak-anak, yang diajari adalah anak-anak, jadi mau ngajarin something beautiful atau something correct?

Thursday, March 08, 2007

Laporan dari Java Jazz 2007

Sebelum bahas artis-artis yang sempet aku tonton, aku mau cerita tentang hal-hal lain di Java Jazz, selain show-nya sendiri.

The Ticket
Tiket Java Jazz ini, belinya dah pake perhitungan dari jauh-jauh hari. Pake kartu kreditnya si Bul-bul, biar dapet diskonan bok. Giliran ngambil, pakek acara berantem dulu sama petugas Disc Tarra. Yang diributin adalah definisi “H-1” yang tertera di bukti pembelian. Menurut aku (dan juga konsumen lain yang datang ke Disc Tarra pada tanggal 1 Maret), H-1 itu adalah H-1-nya Java Jazz, tapi pas ke Disc Tarra, kok tiket kami belum ada. Sedangkan menurut mbak-mbak Disc Tarra, H-1 itu adalah H-1 sebelum tanggal tiket yang kami beli (kalo tiketnya tanggal 3, artinya H-1-nya adalah tanggal 2). Namun bagaimanapun jalannya perkelahian antara konsumen dengan Disc Tarra, pemenangnya tetap Disc Tarra, karena memang tiket untuk tgl 3 dan 4 belum ada.

Setelah puas udur-uduran, aku mundur dan membiarkan mas-mas dan mbak-mbak konsumen lainnya yang ada di belakangku untuk gantian berantem. Harus cepet balik ke mobil, karena ditungguin Ibu dan Parji. Tapi sebelum meninggalkan Disc Tarra, iseng-iseng ngeliat rak New Release, just checking… siapa tauk “yang ditunggu-tunggu” terbitlah sudah. Scanning sebentar… dan berhenti pada CD dengan cover gambar bioskop yang sudah sangat kuhafal. Inilah dia si jali-jali… finally… Ngambil 2 eksemplar, terus balik lagi ke kassa Disc Tarra yang masih penuh dengan orang protes. Mbak-mbak Disc Tarra-nya heran… aku kan tadi ikutan marah-marah bareng konsumen Java Jazz lainnya, tiba-tiba sekarang beli 2 CD judulnya sama, sambil cengar-cengir keledai pula. Abis itu segera cabski dan pulang. Haha… ya gitu deh… gak dapet tiketnya, tapi dapet “yang itu”. Tadinya dah hampir kecewa, tapi tentunya gak jadi dunk…

The Crowd
Rasanya sih tahun ini penontonnya jauh lebih banyak dari yang tahun lalu. Terbukti… saking banyaknya orang (atau emang aku salah tempat nongkrong), tahun ini aku sama sekali gak berpapasan sama orang yang kukenal. Si Erik mungkin juga gak bakalan ketemu kalo gak dengan sengaja janjian di pintu keluar Diane Schuur. Even Bul-bul yang emang beli tiketnya barengan pun dan kita sempet beberapa kali SMSan dan telpon selama di JCC, gak sempet ketemu juga.

Tanda-tanda keramaian mulai tampak pertama kali pada saat mau masuk JCC. Ngantre-nya ada kali sampe ½ jam, barengan sama mobil parkir, kena panas pula. Walah… gak bawa topi, gak bawa sunglasses, dan bajuku bau supermarket… (hehe… yang terakhir gak ada hubungannya).

Dah gitu, pas jam 11, aku sudah mau pulang, di dalam JCC tuh masih kayak pasar. Kalo jalan mesti sambil nyelip-nyelip. Paling parah adalah di David Benoit, sama sekali gak bisa nembus masuk ke hall-nya David Benoit. Hikss…

Shopping
Yang satu ini agak-agak dilemma deh… terutama soal kaos. Kalo belanjanya malem, stocknya udah tinggal dikit, pilihannya terbatas, tapi kalo belanjanya sore… bawaan kita (yang udah berat) jadi tambah berat. Ya begitulah… jadilah kita menonton Java Jazz sambil sedikit olahraga weight-lifting.

Agak susah juga belanja di souvenir booth-nya Java Jazz, soale mas-mas dan mbak-mbaknya rada bolot, bukan menghina loh… sebenernya itu sesuatu yang bisa dimengerti, karena di situ kan berisik banget, dah gitu 1 orang mas-mas/mbak-mbak dalam 1 waktu bisa menghadapi 2-3 konsumen. Ya maklum lah kalo jadi agak bolot… wong kita minta kaos biru buat cewek, diambilinnya kaos putih buat cowok.

Selain belanja souvenir, hal lain yang bisa jadi dibelanjakan adalah CD. Tiba-tiba jadi banyak CD langka tuh di Aquarius dan Disc Tarra. Dah gitu… CD-CD yang tadinya keliatan gak menarik kalo dipajang di gerai Disc Tarra di mall, jadi menarik setelah dipajang di kios Disc Tarra di Java Jazz.

The Schedule
Alaammmaaakkk… jadwalnya itu loh… bikin pusying deh… ganti-ganti sesuka hati. Apa yang tertera di majalah ternyata gak sama dengan kenyataannya. Yah percuma dunk beli majalah. Mana tahun ini aku gak persiapan untuk ngeprint jadwal pula.

Gak hanya berganti sesuka hati, show-nya juga minimal telat ½ jam. Suatu kemunduran tuh… kalo tahun lalu ada sih yang telat, tapi paling hanya 15 menit. Dan kalopun ada yang diundur, itu biasanya pake diumumkan dulu.

The Artist
Sekarang saatnya ngebahas artis yang aku tonton. Sebenernya tahun ini gak ada yang bener-bener pengen ditonton. Eh pengen nonton Jamie Cullum sih, tapi bookkk… mahal pisan tiketnya, dah gitu hari minggu pula.

Jadi sempet heran sendiri, kenapa kok aku akhirnya nonton juga… Ketika nonton show yang pertama kali kami masuki, pertanyaan itu terjawab kok…

Kahitna
Kahitna adalah show yang pertama kami masuki. Aku sama sekali bukan penggemar Kahitna, tapi kebetulan Kahitna adalah show yang paling dekat dengan souvenir booth yang kami kunjungi.

Ternyata… aku menikmati pertunjukan Kahitna tersebut. Memang yang aku cari di event seperti Java Jazz ini adalah Live Performance. Artis-artis yang diundang ke Java Jazz, Live Performance mereka minimal sebaik versi rekamannya, bahkan banyak juga yang lebih bagus kalo Live. Artinya mereka bukan artis karbitan gitu loh… melainkan artis yang memang kualitasnya sudah teruji. Kahitna ini salah satunya, aku gak pernah tertarik untuk dengerin albumnya, tapi di Java Jazz ini mereka bisa jadi menarik.

Iga Mawarni & Heaven on Earth
Apa yang kucari di show-nya Iga Mawarni? Sudah tentu suaranya yang tergolong alto badak serak-serak seksi itu… Emang top banget deh suaranya… Meskipun untuk menontonnya, sempet ndeprok ½ jam di deket WC lantai basement JCC.

Maliq & d’Essentials
Yang ini nontonnya mesti pakek perjuangan: perjuangan menahan pegel-pegel, perjuangan menahan senggolan orang, perjuangan menggendong ransel yang tambah lama tambah kerasa berat, hehehe…

Not a big fan of Maliq juga, tapi aku cukup menikmati performance mereka. Terakhir-terakhir, aku ikutan joget juga akhirnya… bukan karena bener-bener “masuk” ke lagunya… tapi supaya kaki gak kerasa sakit.

Diane Schuur
Sulit untuk menolak Diane Schuur ternyata… Waktu kami masuk ke hall Diane Schuur, dia baru saja selesai memainkan suatu lagu (di piano Steinway bok…). Kemudian dia memainkan intro lagu berikutnya, dan mulailah dia menyanyi: “Someday he’ll come along… The man I love…” Wow… suaranya bok, hangat sekali, terus lagunya lagu itu pula. Memori lama yang sudah di-archive jadi sedikit terungkap, ya kembali ke masa-masa jadi artis amatiran di kampus dulu, nyanyi lagu ini kan?

Sepanjang show, karena ketidaktahuan kami, sempet diskusi apakah si Diane itu buta atau nggak. Dia gak pernah ngeliat tuts-tuts pianonya selama bermain piano. Aku menyanggah, kalo udah jagoan kayak gitu, emang gak perlu ngeliat ke tuts, ujung-ujung jarinya punya “mata” sendiri, lagian kalo ngeliat ke tuts, ntar mulutnya jadi gak di depan microphone. Ternyata… kata Erik si Diane ini memang buta.

Berbagai alasan hampir membuat kami meninggalkan show itu, tapi toh akhirnya tetep di dalam sampe lagu terakhir. Alasan pertama yang kukeluarkan adalah: rokok. “Bau rokok, apa kita keluar aja ya?” Karena menyadari bahwa di mana-mana juga bau rokok, jadi gak jadi keluar deh. Terus gak lama, aku bener-bener mengambil langkah mau keluar dengan alasan: “Capek berdiri nih, keluar aja yuk… tunggu Erik di luar aja”. Tapi sayangnya sodara-sodara, aku salah ngambil jalan, bukannya mendekati pintu keluar, malah makin terperosok ke dalam, dan menemukan tempat enak buat duduk di lantai. Sambil duduk itu, 2 kali ketiduran sebenernya. Akhirnya untuk terakhir kalinya, aku ngajak keluar lagi: “Pengen ke WC nih…”. Dedy udah beneran berdiri waktu aku minta duduk lagi karena ternyata lagu berikutnya adalah Besame Mucho. See?? Diane Schuur memang irresistible kan?

Kelesotan seharga 200rb
Kalo memang niat untuk mengejar artis-artis jazz itu, disarankan untuk benar-benar siap secara fisik. Beberapa hari sebelumnya jangan sampe kurang tidur ataupun kurang makan. Kalo tidak, bisa lebih banyak menghabiskan waktu di lantai JCC alias melakukan kelesotan seharga 200rb!!

Yah… gitu deh… akibat 2 hari begadang di luar rencana pas awal minggunya. Pas giliran waktunya java jazz dah teler duluan. Gara-gara capek, terpaksa deh melakukan snack malam, lagi-lagi di lantai JCC...

Rokok!!
Heran deh, emangnya gak ada larangan ngerokok ya? Rasanya sih tahun lalu gak berasa asap rokok dimana-mana. Kenapa tahun ini jadi berasap gitu ya?

Kostum & Shoes
Soal kostum, JCC itu memang terkenal AC-nya dingin banget. Kapan itu pernah mbak-mbak penjaga stand pameran perumahan curhat ke aku soal dinginnya AC JCC.

Sebenernya kuncinya begini sih… selama kita berada di kerumunan orang, dan gak duduk di lantai marmernya JCC, gak akan terlalu terasa dingin. Aku baru aja menemukan polanya kemarin. Dari sore sampe malam gak kedinginan sama sekali, begitu bluk… duduk di lantai dan bersandar di tembok yang juga dilapis marmer… wwwrrrrr…. Mulai deh… mencari cardigan di ransel. Cardigan gak cukup, kulapis lagi dengan kaos JJF yang baru dibeli…hihihi… kayaknya dalam sehari ini, aku sudah 3 kali ganti kostum… dari polo merah ke polo putih trus ke kaos JJF.

So… kayaknya kalo gak punya persediaan lapisan untuk menahan dingin, lebih baik selalu bawa jaket di tas. Jakarta memang panas, tapi JCC bisa dingin banget bok. Ternyata tahun lalu juga gitu kok… begitu duduk di marmer nonton Gadiz & Bass, baru deh kerasa dinginnya.

Selain kostum, yang mesti dipertimbangkan lagi adalah sepatunya. Saranku sih pakek sepatu yang paling nyaman buat kita lah yaa… sebenernya sandal donatelo kesayanganku itu cukup nyaman meskipun haknya 4 cm, dipake berdiri lama bak upacara bendera pun ga apa-apa. Tapi… perbedaan sandal donatelo itu dengan sandal jepit kesayanganku justru terasa ketika aku duduk di lantai. Kalo pake sandal jepit, gak usah dilepas dulu, tinggal didudukin sekalian aja, sedangkan sandal donatelo harus dilepas dulu, baru duduk.

The Sponsor
Sponsor yang menarik perhatianku tahun ini adalah Citra Intirama. Kalo taun lalu Citra Intirama buka pameran gede-gedean dengan macam-macam produknya, seperti misalnya Casio Privia, taun ini… mereka memberikan sponsor dalam bentuk piano: Steinway yang sampe bikin kemimpi-mimpi itu!! Citra Intirama ini yang punya House of Piano di Dharmawangsa Square, toko itu menjual piano Steinway (piano dewa) dan piano Boston (2nd line-nya Steinway).

Sponsor lainnya yang juga menarik perhatian: RSPP… Rumah Sakit Pertamina Pusat!! Surprising, isn't it? Ternyata RSPP selangkah lebih maju daripada induknya, Pertamina. Kudunya Pertamina ngasih sponsor juga… pasarnya banyak banget loh dalam event sekelas Java Jazz gitu.

Pulang
Gak bawa mobil? Dan "pintu akses rahasia" yang menuju JCC ter-blok? Di larut malam yang agak-agak menyeramkan kalo pulang sendirian itu, kalo udah kepepet... jalan aja sampe ke Hotel Sultan, terus naik taksi dari situ. Taksi-nya sih kemungkinan besar lebih aman daripada kalo asal-asalan nyetop di jalan. Lebih kepepet lagi dari itu? Ya jalan kaki aja sampe rumah... wekekekek...

Ya gitu deh... I had a good time selama nonton Java Jazz 2007 ini, tapi... mungkin lebih asik lagi kalo hari Minggu-Senin-Selasa minggu lalunya gak ada acara begadang... jadi bisa sedikit bersemangat berburu tontonan asik di arena JJF.

Bulo's Day

Bulo yang malang… minggu pagi kemarin... dia gak mendapatkan kesempatan untuk tidur sepulang dari Java Jazz. Karena… kami datang menyantroni kost-kostan-nya!!! Hahaha…!!!

Minggu jam 10 malam, Bulo berencana untuk berangkat detasering mengawali mutasi ke… Jayapura. Jauh banget yaa… dan – kalo dari POV kita-kita sih – agak dadakan. Sebenarnya dia udah lama cerita ttg mutasi itu, tapi yang lain gak nyangka bakalan secepet ini.

Jadi… minggu pagi itu, ketika Bulo mau mencoba tidur lagi setelah jam 7 pagi dibangunkan oleh teman kuliahnya, jreng-jreng… tiba-tiba dia melihat penampakan Avanza Biru di depan kost-kostannya. Huehehehe… Gagal deh rencana untuk tidur lagi.

Di balkon kost-kostan Bulo, kita ngobrol2 ga jelas gitu aja sembari ngemil… sambil nunggu jam 11, karena jam 11 mau ke kawinan Lia-Dito.

Bul-bul, we’ll miss you loh… I’ll miss obrolan-obrolan gak jelas kita… Terus gimana nasibnya band kita nih… Haha… band kita yang ngawur abis… gpp ngawur, yang penting asik… Kayaknya hanya kamu Bul, yang “on the right track”. Ngambil kursus yang tepat sesuai dengan posisimu di band kita: drummer. Lainnya? Saxophonistnya, dari dulu sampe sekarang tetep terdengar kayak klakson kapal dan tidak ada usaha untuk memulai kursus sax, pianistnya… nah itu dia, yang kursus piano malah saxophonist-nya. Haha… Terus gitarisnya? Oyaa… gitaris kita siapa ya Bul?

Jam 11, kita berangkat ke kawinan Lia-Dito… setelah sumuk-sumukan di pasar Slipi Jaya dulu… gak lupa ngedrop Bulo di Plangi, terus ke Granadi. Rame juga… banyak anak-anak BPS 2003 yang datang. Jadi reuni kecil-kecilan deh.

Tumben-tumbenan, kali ini bisa dapet kesempatan ngicipin semua makanan yang disuguhkan di kawinan (bener-bener ngicip aja loh). Tapi akibat “bisa ngicipin semuanya” tadi… jadinya si Sapi dan Bi gak kebagian makanan. Duh… maaf ya…

Di kawinan, ada live music-nya: piano, sax, dan vocal. Aha, nice combination… pas banget buat aku. Jadi waktu aku sudah mulai pegel megangin tas, aku milih untuk duduk di balkon yang letaknya tepat di atas para musisi itu. Oya, tasku itu emang agak-agak terlalu guede buat kondangan, tapi isinya lengkap banget, ada kosmetik, ada baju, ada kamera, dititipin kameranya Ririn pula.

Setelah puas foto-foto, kita pun pergi lagi. Tadinya mau ke kost-annya Sapi. Tapi… karena waktunya gak cukup, ya sudah… kita nyusul Bulo ke Plangi. Ada misi khusus sebagai sound engineer ceritanya… tapi gagal total karena kendala bahasa. Bukannya mengeluarkan sound effect yang diperlukan, malah keliatan jadi “teman-temannya Bulo yang agak error karena habis begadang”. Haha… bo’ong ding…akhirnya ya pamitan aja deh sama Bul-bul… mengucapkan selamat jalan… hiks… hikss…

Abis itu snack sore (lagi) di food court. Aku siy makan es campur ajah. Selesai makan, nyari snack buat teman-temanku di kampus. Dapet kwaci matahari dan permen pedes misterius, tujuannya buat ganjel mata ceritanya. Permen pedesnya tuh kayak permen karet, tapi sebenernya dia kayak permen sugus alias bisa ditelen. Aku memilih permen itu atas rekomendasi mbak-mbak yang jaga Snack Shop.

Setelah beli snack, kita naik busway ke Wiperti. Dari Atma Jaya sampe ke Harmoni sih baik-baik aja. Yang nyebelin adalah waktu turun di halte Harmoni, jreng-jreeenggg… ngantre banget yang mau ke arah Pulo Gadung. Awww… males banget deh. Dah panas, penuh, terkompresi gitu deh, sampe mau menggerakkan tangan aja gak bisa.

Dari Wiperti terus ke Xtrans, ternyata gak lama langsung bisa berangkat. Terus aku meneruskan perjalanan ke UGM, untuk kuliah GBE.

UGM dan Dosen yang Aneh

Sebenernya aku males banget sama kuliah GBE ini. Seharusnya kuliah ini terjadi 2 minggu yang lalu, tapi berhubung dosennya waktu itu gak jadi berangkat ke Jakarta, jadi diundur. Dah gitu jadwalnya juga dari jam ½ 7 sampe jam 9 malam. Jam-jamnya orang udah pada 5 watt. Tapi masih untung sih… kuliahnya hari Minggu. Kalo hari Sabtu, wah… pasti lebih bete lagi yaa…

Jam 5 udah nongkrong di UGM, karena kuliahnya baru mulai jam ½ 7, jadi ikutan jalan-jalan ke mall depan UGM dulu bareng ibu-ibu.

Jam ½ 7 udah pada duduk rapi di kelas. Teman-teman yang lain tuh udah pada kuliah dari pagi. Jadi kebayang lah capeknya… Sehingga wajar aja pada keluar errornya. Hehehe… terus dosennya kok gak datang-datang pula. Mulai deh… buka kantin, nyebarin permen ama kwaci, sempet foto-foto di kelas segala.

Waktu mas-mas dari bagian Akademik mengumumkan bahwa dosennya baru jam ½ 8 datengnya. Kita semua pada berteriak histeris. Bener-bener histeris, dah gak inget tempat (dan gak inget umur). Hehe…

Akhirnya… karena alasan si dosen terlambat agak garing dan menyebalkan, kita sekelas memutuskan untuk melarikan diri saja, setelah tanda tangan daftar hadir tentunya, pake acara dadah-dadah sama mas-mas yang di Akademik pula…. Bubbyyeee….

Hmm… kalo tauk begini, dari Xtrans tadi, mendingan aku langsung pulang saja. Dari tadi bisa bobok enak di rumah. Dan itulah… ujung dari perjalanan 2 hariku, menyenangkan, tapi jadi jetlag. Hehehe… wong gak naek pesawat kok pake jetlag.