Thursday, January 26, 2006

The Disney Storybook

A dream is a wish your heart makes. When you're fast asleep. In dreams you will loose your heartache. Whatever you wish for you keep. Have faith in your dreams and someday. Your rainbow will come smiling through. No matter how your heart is grieving. If you keep on believing. The dream that you wish will come true.

A dream is a wish your heart makes. When you're feeling small. Alone in the night you whisper. Thinking no-one can hear you at all. You wake with the morning sunlight. To find fortune that is smiling on you. Don't let your heart be filled with sorrow. For all you know tomorrow. The dream that you wish will come true


Yang barusan adalah A Dream Is a Wish Your Heart Makes, dari soundtrack-nya Cinderella. Dibuat pada tahun jebot banget, tahun 1948. Lagu itu adalah salah satu dari 2 lagu favoritku dari album The Disney Storybook-nya Jim Brickman. Lucunya… 2 lagu itu (yang satu adalah Cruella De Vil) termasuk yang un-Brickman-like alias gak kedengeran ciri-ciri Jim Brickman-nya.

Aku bukan fans berat Jim Brickman, tapi Brickman ikut berandil dalam memperkenalkan aku kembali pada musik piano instrumental, dan juga memperkenalkan pada genre New Age. Aneh memang… aku sempat les piano selama bertahun-tahun, tapi nggak senang mendengarkan musik piano instrumental. Mau tahu sebabnya? Gara-gara… Richard Clayderman!!

Entah kenapa ya… kalo mendengarkan Richard Clayderman tuh jadi kehilangan semangat. Semua lagu yang dia mainkan jadi terdengar sama… apalagi kalo sudah percussion-nya masuk… uwaahh… lagu yang tadinya bagus jadi membosankan.

Contohnya adalah 18th Variation on Paganini-nya Rachmaninoff, lagu itu kan kesannya agung banget, ketika dimainkan oleh Clayderman, depannya sih bagus, begitu masuk percussion-nya… wuah… bubar deh keagungannya. Lebih menyenangkan yang dimainkan oleh Maxim, gak kehilangan keagungannya.

Padahal, waktu masih kelas 4 SD atau sekitar-sekitar situ deh… lagu non klasik pertama yang bisa aku mainkan adalah Ballade Pour Adeline, salah satu lagu andalannya si Clayderman… hehehehe… tapi entah mulai kapan, mungkin sejak SMA, “efek tidak semangat” dari Clayderman mulai terasa, sejak saat itu aku tidak mengkonsumsi lagi lagu-lagu Clayderman…begitu juga produk-produk piano instrumental lainnya, aku gak pernah menaruh perhatian kepada mereka… Kalo di rumah atau di mobil ada yang memutar lagu piano instrumental (terutama Clayderman), biasanya aku terus tidur… hihihi… ini namanya pianis yang tak tahu terima kasih.

Nah, bertahun-tahun kemudian… ternyata ada temanku yang selera musiknya beririsan denganku (kayak diagram Venn aja)… Kita seneng something jazzy, bedanya kalo aku lebih ke standard jazz (alias lagu café)… temenku ini lebih ke light jazz. Salah satu musisi favoritnya adalah Jim Brickman (eh padahal Brickman bukan jazz ya?).

Karena terus dibombardir sama komentar-komentar bagus tentang Jim Brickman, akhirnya ikutan dengerin juga. Bahkan sempet ngicip beberapa lagu untuk kumainkan sendiri, seperti Frere Jacques dan Twinkle Twinkle Little Star ala Brickman, juga Valentine. Oke deh, yang ini beda, gak bikin hilang semangat. Terus akhirnya aku juga kenalan sama lagu-lagunya David Lanz, Suzanne Ciani, George Winston, pianis yang mewakili genre New Age.

Lagu-lagu piano New Age itu menimbulkan efek relaxed. Kalo lagi capek, ribet, dll, terus dengerin lagu-lagunya mereka… hasilnya jadi tenang, santai, damai. Lagu-lagu kayak gitu yang diperlukan oleh masyarakat perkotaan yang hidupnya tiap hari dipenuhi dengan hingar-bingar. Lumayan untuk mengurangi stress.

Dalam perjalanan tahun baru kemaren, aku menemukan album The Disney Storybook. Albumnya Jim Brickman yang berisi soundtrack film-film Disney.

Wah, menyenangkan sekali… mendengarkan lagu Disney itu… seperti kembali ke jaman kecil. Di Namarina, ada satu kaset yang isinya lagu-lagu Disney sering digunakan untuk musik pengiring latihan balet. Selain itu… mendengarkan lagu Disney juga seperti kembali ke Gedung Bengkok ITB (yang sekarang tinggal kenangan) dengan piano Steinmeyer-nya dan “konser” dadakan bersama anak-anak PSM.

Terus… bagaimana hasilnya jika Disney di-Brickmanize? Beberapa lagu terdengar Brickman banget, tanpa meninggalkan nuansa lagu aslinya tentu saja, kayak Mary Poppins Medley, Someday My Prince Will Come, dan 1 nomor favoritku sejak dulu: When You Wish Upon a Star.
Tapi ada juga yang gak terdengar seperti Brickman, misalnya When I See an Elephant Fly, Cruella, I’m Amazed, dan A Dream is A Wish. Lagu yang menurut aku paling “enggak banget” termasuk dalam golongan yang un-Brickman-like (I’m Amazed), begitu juga yang paling aku senangi (Cruella dan A Dream).

Cruella itu café banget, duh suara contrabass dan trumpet-nya itu loh, membuatnya jadi terdengar romantis banget (padahal lagu aslinya kan gak romantis, wong nyeritain kebejatannya Cruella), sedangkan A Dream lebih ke arah R&B, terutama di tengah-tengahnya…

Kembali ke hubungan New Age dengan kehidupan perkotaan tadi… Pulang dari perjalanan tahun baru, aku kembali lembur untuk naikin data SAP. Termasuk seminggu yang dipenuhi dengan “jetlag” setiap hari, karena aktivitas banyak dan jadwal tidur kacau. Suatu malam, di Aston Atrium, sebelum tidur aku nyalakan The Disney Storybook itu di laptop. Rupanya sebelum albumnya habis, sudah keburu tidur, si Dell-Takodel-Kodel (laptop) bahkan nyala terus sampe kehabisan batre. Dan hoooreeeee…. Malam itu tidurnya jadi enak banget, sampe bangun kesiangan… (kemaren2 selalu berniat bangun kesiangan, tapi prakteknya… jam 6 otomatis melek). Kira-kira emang si musik ini bukan ya yang menyebabkan tidur enak? Entahlah… tapi asumsiku: iya.

Jadi terima kasih untuk Brickman (oke lah, juga untuk pakar Jim Brickman) yang telah membawaku kembali ke piano instrumental (dan new age). Terus sekarang… bagaimana dengan nasib musiknya Clayderman? Wah, sayangnya tetep aja gak seneng…. Hehehe…

Wednesday, January 11, 2006

www.bukumusik.com

Berita gembira buat para pecinta musik, telah dibuka www.bukumusik.com di Plaza Semanggi. Sejak kapan... aku sendiri gak tauk. Kemaren pas lagi jalan-jalan di Centro, Ndoro bilang ada toko buku musik di deket pintu masuk Centro lantai 3. Tadinya kupikir... salah liat kali ya. Mimpi kali yee ada toko buku musik yang cukup lengkap di mall-nya kota Jakarta... Ternyata beneran ada... Horreeee....

Aku pernah ngebahas sama temen (siapa ya? Lupa...). Waktu itu kalo gak salah lagi ngebahas yang jualan komik impor. Kenapa kok (waktu itu) sudah banyak yang buka toko komik, tapi hampir gak ada yang buka toko buku musik. Kalaupun ada, koleksinya sangat terbatas.
Kalau ada yang menjual buku musik yang cukup lengkap kan enak. Gak usah repot-repot beli di internet atau nitip teman yang ada di luar negeri.

Aku ada pengalaman beli partitur di internet. Ribet banget deh... waktu itu mengincar partitur 18th Variation Theme from Paganini-nya Rachmaninoff. Beli di sheetmusicplus.com. Karena menghindari penggunaan credit card (lagian juga gak punya), kita beli bank-draft di Citibank Bandung. Kita terpaksa mengeluarkan uang 3 kali lipat dari harga partitur itu sendiri. 1 kali emang harga partiturnya, 1 kali lagi ongkos kirimnya, 1 kali yang berikutnya adalah biaya pembuatan bank-draft. Habis itu bank draft itu kita kirimkan via pos ke si sheetmusicplus itu. Udah gitu... nunggu lumayan lama... sampe udah lupa kalo pernah mesen partitur. Suatu hari datanglah pemberitahuan dari kantor pos Juanda...bahwa ada kiriman buat kita, nyangkut di mereka. Ya sudah... terpaksa diambil ke kantor pos Juanda.

Berikutnya... aku (atas nama PSM) mencari partitur paduan suara Encore! The Music of Our Times. Untuk menghindari ongkos kirim, ongkos bank-draft dan memotong waktu pengiriman, aku coba untuk menitip pada teman yang dinas ke Singapore. Ternyata buku yang aku cari gak ada Ready-Stock-nya. Si toko buku bilang mau memesankan. Ya sudah... setelah bukunya datang, buku itu dikirimkan ke kantornya temanku cabang Singapore. Terus dibawa ke jakarta sama bossnya. Udah gitu sampailah ke kantornya temanku di Jakarta. Setelah itu buku itu diambil sama temanku yang lain ke kantornya temanku itu. Terakhir... aku mengambil ke rumahnya temanku yang ngambilin buku, baru setelah itu bukunya aku bawa ke Bandung. Mumet kan? Hemat sih emang... tapi buku itu pindah tangan sampai berkali-kali sebelum sampai ke pembeli yang sebenarnya (PSM).

Nah... dengan adanya www.bukumusik.com ini, aku harap bisa memotong rantai pengiriman dan ongkos-ongkos yang gak perlu.

Thursday, January 05, 2006

Kembang Api

Malam itu, 31 Desember 2005, di lantai 19 hotel New Park, Little India, Singapore, aku lagi beres-beres barang dan menginventarisasi belanjaan, sambil menunggu tahun baru. Setelah tahun baru aku mau langsung tidur, sudah pegel-pegel dan jetlag (hmm... sejak sebelum berangkat dari Jakarta pun sudah "jetlag", ngantuk berat seharian... karena jadwal tidur yang kacau selama berhari-hari).

Sambil beres-beres, aku gak begitu memperhatikan jam-jam yang ada di kamar (jam hp, jam tangan, jam hotel). Tiba-tiba terdengar bunyi seperti meriam dari kejauhan. Ketika menengok ke luar, ternyata... KEMBANG API!!! Di dekat Suntec City terlihat kembang api beraksi, menandakan awal tahun 2006. Whuuaaaa.... keren banggeeeetttt.... aku belum pernah nonton kembang api secara langsung (pernahnya di TV). Benar-benar tak terduga... aku gak menyangka bahwa kita bakalan dapat kamar di lantai 19, aku juga gak menyangka bahwa dari lantai 19 itu kelihatan kembang api yang di dekat Suntec.

Selamat tinggal 2005...

Untuk PT EP

26 Desember 2005 sampai dengan 6 Januari 2005... hari-hari panjang persiapan Go Live SAP-nya PT PERTAMINA EP. Data yang sudah dirapikan dan dikompilasi selama berminggu-minggu (di Bogor, Bandung), dalam dua minggu itu akan diupload ke SAP. Macem-macem aja cerita di balik itu.

Sedikit pergeseran untuk Pertamina EP
Untuk meng-upload data, terpaksa jadwal tidur digeser sedikit: pulang kantor lebih malam, tidur lebih malam, bangun sedikit lebih siang, dan masuk kantor lebih siang juga. Karena upload data harus dilakukan setelah jam kantor usai. Demi keamanan dan kenyamanan, rumah pun sementara dipindahkan ke Aston Atrium selama 2 malam.

Minggu pertama begadang di kantor gak begitu menyeramkan, karena di koridor lantai 1 gedung utama sedang ada renovasi, jadi suasananya rame. Minggu kedua itu loh... aku sempat menemukan bahwa di lantai 1 itu tinggal kami bertiga saja (aku, Dudut, dan pak Trisno). Wuaa... mana lampu kamar mandi terdekat dengan semena-mena dimatikan dari pusatnya pula.

Bandung Bondowoso van PT EP
Kalo aku sibuknya di gedung utama... kesibukan juga terjadi di Kwarnas, tempat kedudukan PT EP, dimana entri data SAP akan dilakukan untuk sebulan pertama. Bi sedang mengerahkan "jin-jin"nya untuk menyusun 50 PC yang ter-connect ke jaringan di lantai 17. Waktunya? Gak sampe seminggu lah ya... mana beberapa pihak terkait punya andil dalam menghambat pekerjaannya. Contohnya... harusnya disediakan meja-kursi, tapi waktu hari kamis aku iseng naik ke lantai 17, gak ada tuh meja ataupun kursinya. Yah... ala Bandung Bondowoso lah... yang harus membuat 1000 arca dalam waktu semalam....

Bandung (21-25 Desember 2005)

Setelah berminggu-minggu berlangsung di Bogor, akhirnya pembenahan data SAP dipindah ke... BANDUNG!! Wuah... senangnya...

Kisah si Dell-Takodel-Kodel

Aku heran sama laptop Dell milik kantor yang aku bawa ke Bandung... Kenapa dia besar dan berat banget ya? Sebenarnya kan banyak laptop yang sama powerful-nya, tapi ukurannya nggak sebesar itu, dan harga sewanya juga nggak beda jauh.


Yang namanya laptop itu harusnya portabel, dari namanya aja LAP-TOP, harusnya bisa diletakkan di atas pangkuan ketika bekerja di mobil, di mall, di taman, atau di mana saja yang gak tersedia meja. Nah... pada suatu kemacetan di Jl.Kuningan, aku pernah mencoba untuk meletakkannya di pangkuan, ternyata dia tidak stabil karena bodinya lebar banget.

Belum lagi beratnya. Waktu di Bogor, aku gak terlalu merasakan beratnya... padahal sempat aku bawa naik becak, bahkan jalan kaki dari hotel Salak pulang ke hotel Efita. Di Bandung kemaren, aku sempat merasa terzholimi oleh laptop itu. 2 malam pertama aku dapat excuse untuk meninggalkannya di Horison, karena laptop itu dipinjam pak Junaidi. Win-win solution kan? Pak Junaidi bisa kerja sampai malam, aku bisa pulang tanpa memanggul laptop.


Malam ke-3... aku lagi panik sama kekacauan data Vendor dan bertekad untuk bekerja di rumah, dan lagi tidak ada yang meminjam laptop hari itu, jadinya aku hanya menitipkan adaptor-nya ke Dudut, laptopnya aku bawa pulang. Dengan membawa laptop itu dalam keadaan gerimis, aku sempat mampir Donatello dan Episode (duh, kapan lagi kalo enggak... mumpung sempet!). Alhasil... sampai di rumah boro-boro kepikir untuk kerja... dah capek banget...

Hari terakhir... acara berakhir sebelum makan siang, mau gak mau mesti bawa laptop lah ya... Aku janji untuk nraktir si Badagok hari ini, karena dia sudah membawakan kado pernikahannya Adek yang segede-gede gaban ke Rantau (bed cover sih...). Jadi, laptop itu gak pernah lepas dari aku semenjak aku meninggalkan ruang rapat Tangkuban Perahu, kemudian nungguin Badagok dan Febri di lobinya Horison, kemudian jalan ke pertigaan Martanegara, naik angkot ke BSM, jalan di BSM, bahkan ngantre di Es Teler 77.
Hasilnya... setelah makan, pas diajak muter-muter nyari tas laptopnya Febri, aku jadi teler banget... maunya ninggalin laptop itu aja. Untung akhirnya mereka mengambil alih laptop itu. Bahkan waktu pamitan di depan BSM (mereka balik ke Horison, aku sih pulang ke rumah), mereka sempat komentar: ”Ternyata... laptopmu emang berat banget Git.”

Hmmm... ternyata bukan hanya aku kan yang beranggapan bahwa laptop itu emang BERAT BANGET. Dia gak se-portable laptop lainnya yang pernah aku jumpai. Toshiba Satellite-nya Bapak yang dulu aku anggap gede banget, ternyata masih lebih ringan dibandingkan si Dell-Takodel-Kodel ini. Mungkin kalo soal berat, agak-agak bersaing sama Compaq-nya DOH JBB yang dibawa Dudut.


Sehabis dari BSM, aku langsung pulang, padahal tadinya mau ke salon untuk creambath, males mesti ngurusin laptop itu pas d
i salon. Terus waktu di jalan sempet ditelpon dan diajak ke Superindo, tapi malas juga dan milih pulang aja, karena pasti waktu nunggu di Superindo, aku masih harus membawa-bawa laptop berat itu. Sampai tulisan ini dibuat, pundakku masih pegel-pegel bekas bawa laptop itu. Dasar Dell-Takodel-Kodel...

Potato Skin

Ketika seorang teman mempromosikan Potato Skin, yang kebayang makanannya pasti unik. Kulit kentang kan bagian yang selalu disia-siakan dan dibuang, sekarang justru jadi tema utamanya...


Karena keburu penasaran, sebelum balik ke Jakarta, aku pergi ke Medso Resto & Terrace, tempat yang jualan menu Potato Sakin. Minggu siang, akhirnya aku sampai juga di sana. Hmm... ternyata restonya sama dengan yang menarik perhatianku pas Lebaran. Dulu aku tertarik gara-gara di sana sering ada live music dari Elfa’s Jazz House. Pasti asik...


Waktu aku sampai, restonya baru buka... aku pengunjung pertama. Di bagian tengah cafe ada seperangkat alat musik akustik, duile... bikin ngiler aja... coba kalo ke situnya malam-malam, pasti yang ada gak hanya alat musiknya... tapi sekalian sama musisinya.

Yang aneh... temanku bilang potato skin itu most special appetizer-nya Medso, tapi kok waktu aku pesan 2 porsi potato skin untuk dibawa pulang, mbak-mbak yang jaga agak-agak kurang merekomendasikan. Dia bilang: ”Potato Skin kan hanya kentang bulet-bulet”. Aduh... jangan-jangan gak seheboh yang aku bayangkan... jangan-jangan diboongin sama temanku nih... Hmm.. tapi dah keburu penasaran gitu loh.


Setelah tunggu 15 menit sambil ngeliat pemandangan dari atas terasnya Medso, akhirnya selesai juga tuh Potato Skin. Ternyata.... yang namanya potato skin itu emang lain daripada yang lain. Kentang dibuang tengahnya, terus tengahnya yang bolong itu diisi dengan topping daging asap dan keju mozarella. Terus disajikan dengan saus keju. Slurp!! Kayak gini nih....

Sesuai rekomendasi mbak-mbak yang di Medso, selain Potato Skin, aku pesan juga pizza dengan topping jalapeno pepper dan pepperoni. Yang ini juga lumayan enak. Kesimpulannya, boleh lah diulangi lagi pergi ke Medso, tapi lain kali mesti malem kali ya, biar ada musisinya.... gak hanya alat musiknya. Hihihihi...

Hari yang WUUUAAAHHH....(12 Desember 2005)

Hari ini susah diungkapkan dengan kata-kata. Kalo dibilang melelahkan, enggak juga... Dibilang menyenangkan, enggak juga.... makanya aku memakai kata WUUAAAHHH... meskipun gak jelas artinya.

Birokrasi di Pertamina
Pagi-pagi sudah berurusan sama birokrasi di kantor. Baru aja kemaren launching logo baru, mencetuskan Pertamina Baru, tapi hari ini aku sudah jadi korban birokrasi. Minggu lalu aku di Bogor, minggu ini dinasku diperpanjang, tapi aku harus tunggu memo perpanjangan dinas dulu. Kalo gak...SPD-ku bisa gak laku. Jam 8 pagi draft memo sudah dibuat, kemudian dimasukkan ke manager yang mengundangku.


Tapi... kutungguin sampe jam 10, mana dia... ternyata pak manager rapat. Wuah... aku juga gak bisa menghadap bosku kalo gak ada memo, bosku juga gak akan mengijinkan pergi kalo tidak ada memo yang mendasari. Birokrasi semacam ini sengaja diciptakan untuk memberikan batasan-batasan dan rambu-rambu pada penyelenggaraan perusahaan, tapi hari ini... malah menghambat. Harusnya aku sudah bisa berangkat ke Bogor dan mulai bekerja, tapi karena belum ada memo, jadinya aku nggak jelas selama ½ hari.


Preman Salak yang tak berdaya
Jam 12, barulah aku berangkat ke hotel Salak. Hotel Salak penuhnya amit-amit, bahkan preman hotel Salak pun tak berdaya untuk mencarikan kamar. Jadi aku, Dudut, dan Daniel mencoba cari alternatif hotel. Calon pertama adalah Wisma Sudirman di Jl.Jend.Sudirman, kita ke sana dengan berjalan kaki. Ujung Jl.Jend.Sudirman sih gak terlalu jauh dari hotel Salak, tapi... ternyata Wisma Sudirman itu letaknya ada di tengah-tengah Jl.Jend.Sudirman yang lumayan panjang itu. Udah gitu, setelah sampai di dekat wisma itu, kelihatannya kok gak meyakinkan, akhirnya kita cari alternatif lain, hotel Efita di Jl. Sawojajar. Menurut papan reklame, hotel Efita itu 200m dari Jl.Jend.Sudirman. Tapi rasanya lebih jauh dari 200m deh... menyesatkan tuh petunjuknya. Lumayan pegel dan keringetan juga perjalanan mencari hotel... lagipula aku pakai sepatu kerja, jadi tambah gak enak aja.


Setelah booking Efita, kita kembali lagi ke Salak. Naik angkot kali ini. Setelah makan malam, barulah bawa koper dan tas ke Efita. Naik becak dari Salak ke Efita. Ternyata jauh juga, lewat pasar, jalannya gak rata pula, kasian deh tukang becaknya.


Baju Perempuan vs Baju Pria
Oya, ada hal aneh. Ternyata koperku yang keliatannya gendut dan terisi penuh itu, lebih ringan dibandingkan laptopnya Dudut. Dudut sampai heran, kok bisa tas segede itu enteng banget? Apakah baju perempuan lebih enteng dari baju para pria? Menurut aku: IYA. Kita bandingkan celana kain ajah.... bahan celana pria biasanya lebih tebal. Belum lagi kalo dibandingkannya dengan rok. Dari banyaknya bahan yang diperlukan, rok lebih hemat dibandingkan celana, jadi masuk akal kan kalo baju perempuan lebih ringan dibandingkan baju pria.


Tumpah!
Sampai di hotel, waktu buka koper dan mau mandi, aku baru sadar, ternyata barang-barang yang ada di dalam kotak kosmetikku jadi wangi semua, wah! Ternyata parfumku tumpah!! Terpaksa aku cuci botol-botol sabun, sampo, pembersih wajah, dan sikat gigi. Nah... meskipun sudah dibilas dengan air, tapi sisa-sisa parfum itu masih nempel juga, waktu sikat gigi, rasanya kayak sikat gigi pake obat anti nyamuk. Hiiiiihihihi...